klise klise

7/12/2010 06:50:00 PM

saya sedang dalam momen-momen skeptis terhadap pengakuan akan cinta.

saya, at this very moment, sering berpikir bahwa cinta itu palsu, kesetiaan juga.
bukan tentang cinta yang asli, yang sebenar-benarnya, tapi lebih pada 'cinta' yang orang pada dewasa ini gunakan untuk menamai hasrat untuk memiliki dan menguasai suatu pribadi karena dasar daya tarik semata.

they keep reciting cliche, the annoying one.


banyak omongan yang membosankan tentang cinta yang saya dengar dan baca di timeline, home facebook, dashboard tumblr. memuakkan.

mereka bilang cinta itu buta,
tapi toh kamu memilih juga kan, mana yang cantik mana yang tidak. mana yang tampan mana yang kurang menarik. siapa yang kaya siapa yang pas-pasan. si ini bermobil apa si itu naik motor apa. siapa yang bisa mengajakmu makan di restoran mahal. yang mana yang bisa membuatmu nantinya hidup bersantai dan siap terima pemasukan saja.

tapi ketika mereka bilang cinta itu menerima apa adanya, kamu malah lupa cinta yang benar itu bersandar pada logika, bukannya membiarkan kamu menerima pemanfaatan atas dirimu sendiri, menghancurkan personalitimu, kelewatan memberi excuses pada tiap kesalahan.

ketika bicara tentang cinta yang universal, saya memilih berpegang pada yang terjabar dalam 1 Korintus 13: 4-7:
"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu"


saya enggan mengikuti Gie dalam mengartikan cinta sebagai kemustahilan. cinta itu ada, saya percaya.


namun ketika 'cinta' itu tiba pada yang menghubungkan dua pribadi, saya angkat tangan.
mau berteori tentang bagaimana mencintai yang benar, saya nampak seperti seorang munafik dengan mengutamakan syarat: mengesampingkan tampilan luar.
people judge books by their covers. i do. we do.
thats exactly what designers suppose to do: attract people through beauty that appears the first.
begitu cara kerjanya.



dengan manusia juga begitu, meski patut dipertanyakan apakah Sang Desainer menyiptakan manusia dengan rupa yang berbeda hanya dengan maksud memberi daya tarik yang berbeda.
tapi apa yang realita katakan sekarang ini, pembedaan hanya karna kecantikan & ketampanan makin signifikan dan tanpa malu-malu dilakukan, berpura-pura tidak ada yang salah; membuat orang membangun ideologi baru sendiri dalam mendefinisi 'cinta' dan langsung mengecapnya sebagai kebenaran, lalu berkoar-koar bicara bagaimana caranya mencintai dengan tulus hati. tahi kucing.



saya tahu dan mengenal orang-orang yang hanya mau berteman dengan lawan jenis dengan syarat tertentu:
1. satu ras
2. memiliki warna kulit yang sama
3. beragama sama
4. berpakaian dengan merk ternama
5. makan di tempat-tempat bergengsi
dan hal lain yang tidak bisa saya terima.
saya tidak terima karena ia menilai pertemanan dengan harga segitu.
berdalih 'berteman' untuk mencari 'pacar'? itu lebih memicu amarah lagi, dengan memberi harga pada cinta serendah itu.



saya merasa, untuk bisa mencintai dan dicintai, orang harus berani menjadi tidak sempurna. dan mereka yang menyadari ketidaksempurnaannya, telah menyediakan ruang kosong untuk kesempurnaan.
bukannya bermaksud mereligiuskan, tapi saya yakin, dalam upaya manusia mencari kesempurnaan (yang sebenarnya menjurus pada pencarian akan pencarian utama dalam hidup), orang menyediakan tempat bagi Kesempurnaan yang sejati, yang lahir dari kekekalan dan berakhir pada kekekalan, Sang Alpha dan Omega: Sang Pencipta.
ketika manusia bisa menyadari cinta yang Sempurna dari Dia, saya rasa, akan sedikit lebih memudahkan bagi cinta yang 'benar' itu untuk hadir.



dengan mencintai kamu telah memberi harga pada si obyek dalam cinta (verb)-mu, dan untuk mencintai lebih lagi, saya percaya, kamu juga harus memberi harga pada dirimu sendiri. untuk mencintai bukan pada semata "siapa", tapi juga "apa" (distingsi antara the who and the what, seperti pada yang disampaikan Derrida on Love and Being: watch).



ah.
saya juga malah akhirnya mengulang-ngulang hal yang sama.
jadi benar kan? love is such a cliche.



mungkin Paulo Coelho benar,
"cinta hanyalah cinta, tanpa definisi. cintailah dan jangan bertanya terlalu banyak, cukup mencintai saja" (The Witch of Portobello, 2007)
dan "mereka yang bijaksana, menjadi bijaksana karena mereka mencintai. dan mereka yang bodoh, bodoh karena menganggap dirinya telah mengerti cinta."



definisikan cinta seperti yang kamu mau.
saya yakin cinta itu relatif, dan dalam kerelativitasannya itu,
for me,two persons who love each other, seem like a couple who could define love in the similar ways.



dan ketika saya mengidentikkan cinta sebagai bukti kehadiran Tuhan,
saya lebih memilih menyediakan misteri pada pengertian akan cinta, sebagaimana pengetahuan tentang Tuhan tidak sepenuhnya dimengerti manusia;
karena dengan demikian, kamu akan terus mencari. dan hanya dalam pencarian kamu belajar menemukan nilai dan mampu membangun makna.

You Might Also Like

2 comments

followers

Subscribe