Kalau-kalau Kamu Satu dari Mereka yang Mencurigai Saya
7/01/2010 04:05:00 PM
Saya mulai bosan dengan mereka yang terlalu banyak berceloteh tentang kebenaran ajaran agama, namun jelas-jelas nampak gagal dalam mengamalkannya. Belakangan ini saya banyak membaca mengenai ateisme, dan beberapa hal-hal yang menyangkal kebenaran agama. Banyak dari beberapa pemikiran itu yang saya bagi di Twitter atau Tumblr.
Lucunya, beberapa pihak berpikir saya akan berpaling dari kepercayaan saya.
Lucu, melihat betapa picik dan sempitnya pemikiran mereka.
Saya ingat bagaimana saya dulu untuk pertama kalinya bertemu dengan seorang teman yang mengakui dirinya seorang ateis. Sebelum saya mengenal dia, saya memiliki mind set bahwa para ateis adalah orang jahat yang tidak bisa 'bersatu' dengan seorang pemeluk agama pun. Waktu itu, saya yakin saya telah memiliki pandangan yang salah. Pandangan yang salah dan memalukan.
Saya yakin bahwa ketakutan yang muncul ketika berhubungan dengan seorang ateis adalah: potensi munculnya persuasi dari dia yang membuat melihat 'kebenaran' -dalam pandangan mereka.
Hal itu yang membuat saya geli akhir-akhir ini, setelah melihat yang sebenar-benarnya terjadi.
Padahal, seharusnya mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang ahli agama (atau setidaknya pemeluk agama yang taat) mampu menyadari bahwa kebenaran yang sebenar-benarnya adalah benar yang tidak akan terkalahkan oleh sanggahan seskeptis apapun.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Soe Hok Gie, "Kepercayaan yang baik timbul dari pergumulan yang terus-menerus antara yakin dan kesangsian. Mereka yang tahu artinya ragu-ragu akan dapat kepercayaan lebih besar", saya ingin sekali mendatangi mereka yang sebegitu mendiskriminasikan para non-believers sementara mereka tak sama menggelikannya: bernista lalu mengaku dosa, lalu menistakan Tuhan mereka lagi.
Keraguan yang muncul ketika kebenaran agama hendak disangsikan malah telah terlebih dahulu menjatuhkan 'kuasa' dogmatisnya.
Jika hatimu memang hanya untuk satu kebenaran, mengapa harus takut akan ucapan mereka yang tak sesuai dengan 'benar'-mu?
Saya jenuh dengan mereka yang menggunakan kata 'ateis!' untuk menyebut orang beragama yang tindakannya mereka anggap menganggu.
Orang beragama adalah orang beragama, dan para ateis adalah ateis.
Ketika orang ateis (yang saya kenal) bisa menghargai keyakinan saya akan keberadaan Tuhan dalam agama saya, mengapa orang yang seharusnya berpegang pada ajaran agama, yang bisa disebut sebagai pedoman moral, malah tidak bisa sedikit memahami hak sesamanya?
Mungkin saya akan disanggah banyak orang yang menganggap saya ,sebagai seorang umat beragama ,terlalu apatis untuk menyadari 'nasib buruk' para penolak-Tuhan. (Dan saya curiga malah saya dicurigai sebagai seorang ateis.)
Dalam hal ini, biar saya membalikkan pertanyaan, tentang fungsi agama menurut mereka.
Jika memang agama hanya sekedar mengenai ajaran moral, bukankah hal baik dan benar itu subyektif adanya?
Sekalipun mereka tak beragama, banyak dari mereka yang saya lihat mampu mengerti hakikat kemanusiaan, mampu memprioritaskan hak-hak manusia, mampu menjadikan orang-orang di sekitarnya sebagai manusia yang merasa dihormati dan dihargai; meski dalam beberapa hal, yang tidak bisa diubah lagi, mereka tak sejalan dengan apa yang agama kita ajarkan.
Dengan ini, apakah saya berarti mengatakan beragama dan tidak sama saja baiknya?
Sebagai seorang umat beragama, saya menjawab tidak.
Karena saya memiliki alasan untuk beragama (selain beberapa alasan yang tidak bisa diterima mentah-mentah oleh logika) selain sekedar menjadikannya pedoman moral: keselamatan.
Agama saya menjanjikan keselamatan ketika dunia yang kita huni sekarang sudah habis masanya. Agama saya menyajikan 'keselamatan' dalam sektor-sektor kehidupan: dalam ketenangan batin, kedamaian, kasih.
Jika demikian, bukankah saya terdengar egois: menyadari ada keselamatan dalam agama namun membiarkan yang lain menolaknya?
Jawaban yang saya berikan adalah apa yang ditekankan oleh guru Agama di SMA dulu (yang di dalamnya bukan hanya siswa/i Katolik):
"Keselamatan gereja yang kita percayai, adalah cuma-cuma, anugrah terbesar. Siapa percaya dan mengikuti ajaran, ia selamat. Keselamatan ini ditawarkan pada dunia, bukannya dipaksakan."
Jadi ketika mereka melakukan pembatasan diri, membangun tembok-tembok penghalang hubungan mereka antar sesama manusia hanya karena melihat keagamaan mereka (dalam hal ini, bukan hanya mereka yang ateis/agnostik dengan yang beragama, melainkan juga diskriminasi dalam lingkungan yang lebih spesifik: antara agama yang berbeda), bukankah mereka telah menyelewengi hakikat dari keagungan agama mereka yang mulia?
Mungkin mereka lupa berkaca. Banyak borok mereka yang membuat penolak-Tuhan semakin enggan menjadi percaya.
Saya, tiba-tiba ingat sebuah kutipan dari Gandhi:
"I like your Christ, I do not like your Christians. Your Christians are so unlike your Christ."
mungkin ini yang dipikirkan oleh banyak pihak di luar sana.
terdengar menggelikan, namun nyata.
Saya, dalam kemajemukan yang memekkakkan hati ini, tetap di'melek'kan oleh kebenaran yang saya yakini; oleh kekuatan (yang dicap secara skeptis oleh beberapa non-believers sebagai tameng akan kelemahan dan kepasrahan).
"I believe in Christianity as I believe that the sun has risen: not only because I can see it, but also because by it I see everything else." (C.S.Lewis)
dan dalam posisi saya sebagai manusia,
"I love you when you bow in your mosque, kneel in your temple, pray in your church. For you and I are sons of one religion, and it is the spirit" (Kahlil Gibran)
Lucunya, beberapa pihak berpikir saya akan berpaling dari kepercayaan saya.
Lucu, melihat betapa picik dan sempitnya pemikiran mereka.
Saya ingat bagaimana saya dulu untuk pertama kalinya bertemu dengan seorang teman yang mengakui dirinya seorang ateis. Sebelum saya mengenal dia, saya memiliki mind set bahwa para ateis adalah orang jahat yang tidak bisa 'bersatu' dengan seorang pemeluk agama pun. Waktu itu, saya yakin saya telah memiliki pandangan yang salah. Pandangan yang salah dan memalukan.
Saya yakin bahwa ketakutan yang muncul ketika berhubungan dengan seorang ateis adalah: potensi munculnya persuasi dari dia yang membuat melihat 'kebenaran' -dalam pandangan mereka.
Hal itu yang membuat saya geli akhir-akhir ini, setelah melihat yang sebenar-benarnya terjadi.
Padahal, seharusnya mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang ahli agama (atau setidaknya pemeluk agama yang taat) mampu menyadari bahwa kebenaran yang sebenar-benarnya adalah benar yang tidak akan terkalahkan oleh sanggahan seskeptis apapun.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Soe Hok Gie, "Kepercayaan yang baik timbul dari pergumulan yang terus-menerus antara yakin dan kesangsian. Mereka yang tahu artinya ragu-ragu akan dapat kepercayaan lebih besar", saya ingin sekali mendatangi mereka yang sebegitu mendiskriminasikan para non-believers sementara mereka tak sama menggelikannya: bernista lalu mengaku dosa, lalu menistakan Tuhan mereka lagi.
Keraguan yang muncul ketika kebenaran agama hendak disangsikan malah telah terlebih dahulu menjatuhkan 'kuasa' dogmatisnya.
Jika hatimu memang hanya untuk satu kebenaran, mengapa harus takut akan ucapan mereka yang tak sesuai dengan 'benar'-mu?
Saya jenuh dengan mereka yang menggunakan kata 'ateis!' untuk menyebut orang beragama yang tindakannya mereka anggap menganggu.
Orang beragama adalah orang beragama, dan para ateis adalah ateis.
Ketika orang ateis (yang saya kenal) bisa menghargai keyakinan saya akan keberadaan Tuhan dalam agama saya, mengapa orang yang seharusnya berpegang pada ajaran agama, yang bisa disebut sebagai pedoman moral, malah tidak bisa sedikit memahami hak sesamanya?
Mungkin saya akan disanggah banyak orang yang menganggap saya ,sebagai seorang umat beragama ,terlalu apatis untuk menyadari 'nasib buruk' para penolak-Tuhan. (Dan saya curiga malah saya dicurigai sebagai seorang ateis.)
Dalam hal ini, biar saya membalikkan pertanyaan, tentang fungsi agama menurut mereka.
Jika memang agama hanya sekedar mengenai ajaran moral, bukankah hal baik dan benar itu subyektif adanya?
Sekalipun mereka tak beragama, banyak dari mereka yang saya lihat mampu mengerti hakikat kemanusiaan, mampu memprioritaskan hak-hak manusia, mampu menjadikan orang-orang di sekitarnya sebagai manusia yang merasa dihormati dan dihargai; meski dalam beberapa hal, yang tidak bisa diubah lagi, mereka tak sejalan dengan apa yang agama kita ajarkan.
Dengan ini, apakah saya berarti mengatakan beragama dan tidak sama saja baiknya?
Sebagai seorang umat beragama, saya menjawab tidak.
Karena saya memiliki alasan untuk beragama (selain beberapa alasan yang tidak bisa diterima mentah-mentah oleh logika) selain sekedar menjadikannya pedoman moral: keselamatan.
Agama saya menjanjikan keselamatan ketika dunia yang kita huni sekarang sudah habis masanya. Agama saya menyajikan 'keselamatan' dalam sektor-sektor kehidupan: dalam ketenangan batin, kedamaian, kasih.
Jika demikian, bukankah saya terdengar egois: menyadari ada keselamatan dalam agama namun membiarkan yang lain menolaknya?
Jawaban yang saya berikan adalah apa yang ditekankan oleh guru Agama di SMA dulu (yang di dalamnya bukan hanya siswa/i Katolik):
"Keselamatan gereja yang kita percayai, adalah cuma-cuma, anugrah terbesar. Siapa percaya dan mengikuti ajaran, ia selamat. Keselamatan ini ditawarkan pada dunia, bukannya dipaksakan."
Jadi ketika mereka melakukan pembatasan diri, membangun tembok-tembok penghalang hubungan mereka antar sesama manusia hanya karena melihat keagamaan mereka (dalam hal ini, bukan hanya mereka yang ateis/agnostik dengan yang beragama, melainkan juga diskriminasi dalam lingkungan yang lebih spesifik: antara agama yang berbeda), bukankah mereka telah menyelewengi hakikat dari keagungan agama mereka yang mulia?
Mungkin mereka lupa berkaca. Banyak borok mereka yang membuat penolak-Tuhan semakin enggan menjadi percaya.
Saya, tiba-tiba ingat sebuah kutipan dari Gandhi:
"I like your Christ, I do not like your Christians. Your Christians are so unlike your Christ."
mungkin ini yang dipikirkan oleh banyak pihak di luar sana.
terdengar menggelikan, namun nyata.
Saya, dalam kemajemukan yang memekkakkan hati ini, tetap di'melek'kan oleh kebenaran yang saya yakini; oleh kekuatan (yang dicap secara skeptis oleh beberapa non-believers sebagai tameng akan kelemahan dan kepasrahan).
"I believe in Christianity as I believe that the sun has risen: not only because I can see it, but also because by it I see everything else." (C.S.Lewis)
dan dalam posisi saya sebagai manusia,
"I love you when you bow in your mosque, kneel in your temple, pray in your church. For you and I are sons of one religion, and it is the spirit" (Kahlil Gibran)
0 comments