aku senang sekali menyebut kamu dalam tulisan-tulisanku.
kamu pada yang universal. aku tak berbicara tentang kamu.

aku senang sekali berpura menulis untuk seseorang, kamu.

dan kamu kali ini adalah

Sar, yang kutemui sepulang gereja, membersihkan lantai lalu meludah.

: Sar,

aku pergi tidur di laut malam ini, sebab begitu asin lampu kota dan lidahku

tak lagi gemar menegak sekaleng puisi sehabis maghrib.

ibu menyuruhku untuk membawa seseorang untuk pergi

kupikir akan kubawa adikku, tapi ia lebih senang menelan pigura-pigura

dan beberapa kanvas yang kugambar dengan batang kuas plastik,

jadi kupikir aku bisa membawamu,

Sar,

tapi puisi

tak lagi menyelamatkan kita dari doa-doa yang lalim.

Sar,

mereka sebut aku sundal?

ibu membingkisku sebuah tasbih yang katanya berasal dari perut,

dimuntahkan di waktu subuh selepas sebuah mimpi tentang ronggeng

yang menyetubuhinya di pinggir hutan, membikinnya kembali perawan.

roncenya wangi mawar,

Sar,

mengapa beratus kali aku bermimpi tentang sebuah kubur di Lordes?

aku akan ingat, Sar,

berapa banyak doa yang pergi memantul lagi ke dasar lantai

sebab terlalu mudah kubuka kancing bajuku,

satu per satu.

barangkali kau satu-satunya yang tak perlu lagi mengingat

melupa rasa lupa dan mengingin rasa ingin

sebab kita bisa tidur

dengan sebuah tasbih yang kita doakan bersama-sama: di ranjang.

makanya malam ini kuputuskan untuk tidur di laut, Sar

sebab dingin begitu merdu kulumat dalam pelipis

dan halus ingatan tentang pundakmu yang lentur

(meski aku tak kunjung bisa tidur)

(apa aku masih perlu menikmat rasanya tidur)

(beratus kali, Sar, aku bermimpi tentang sebuah kubur)

begitu asin, Sar, lampu kota dan segala ingatan yang kita ludahkan

dalam sebuah alarm yang menyingsing bau anyir di sepanjang subuh.

dan aku juga tak berhak tinggal, ujar mereka,

sebab katanya aku sundal?

terkadang aku heran mengapa ibu menamaiku maryam,
sedang di marfati tak ada tempat untukku tinggal.

2012