titipan
11/19/2011 05:47:00 PM
Aku mendengarnya. Aku mengingatnya.
Mereka berbicara tentang sawah dan pematang, kerikil-kerikil terpijak yang licin, angin-angin di pinggir ranting-ranting yang berisik, ilusi-ilusi nyanyian di sepanjang sungai dan danau, nina-nina bobo dari lereng-lereng, hari-hari yang sepi dan tenang, serta cerita tentang sesisa kunang-kunang yang terbang di pelataran kursi rotan. Mereka berbicara tentang masa lalu. Sementara aku hanya punya sejumput romantisis yang dititipkan pada ramai debu, untuk kemudian sekedar berlalu. Aku cemburu pada mereka yang memiliki masa lalu.
Kita bukan sedang menyimpan jarak untuk kita jadikan penat untuk kemudian ditumpahkan dalam sajak. Aku merasakannya: rindu yang mereka sisipkan dalam puisi-puisi liar yang sengaja ditulis tanpa nama, hanya berbicara tentang rasa yang mereka jadikan rahasia. Bara yang terlalu getir untuk ditutupi sekedar tanda titik, atau huruf-huruf cetak miring untuk nama-nama tempat dimana hati mereka pernah menetap. Ketidakmungkinan hanya ada pada pengaburan masa lalu untuk tidak diingat kemudian. Mereka membuktikannya.
Aku memang hidup di sini, namun arti untuk pulang telah terserak hanya sampai batas-batas di ujung kota ini yang telah menjadikan aku asing bagi diriku sendiri. Tak ada tempat beristirahat, bahkan pada kesenangan untuk menikmatinya dalam ingatan. Aku hanya punya bising dalam kepala. Apalah artinya untuk pulang dalam kerangkang.
Aku cemburu pada mereka yang memiliki masa lalu.
Mereka ingin pulang. Mereka menuliskan itu dalam diam, dalam kata-kata yang padaku berteriak mengerikan. Mereka hanya menegaskan mengapa aku tidak pernah mengerti bagaimana seseorang bisa lupa untuk kembali. Ada jalan yang bisa mereka tempuh lagi, serupa dengan yang mereka ambil sewaktu mereka pergi; tapi puisi-puisi itu adalah kobaran janji untuk tidak mengambil setapak yang sama. Mereka hanya sekedar ingin kembali. Atau berlari.
Aku tidak pernah mengerti.
Aku tak pernah paham pada mereka yang menggertak untuk berhenti menyimpan sengatan kesenangan dalam ingatan tentang yang lampau. Kita ini tidak mungkin tidak pernah mampir pada lelah yang disajikan masa kini, dan bukan tidak mungkin jika peristirahatan adalah yang kita temukan dengan berangan tentang masa lalu. Bukan, bukan berangan, namun memanggil kembali ingatan. Untuk sekedar beristirahat dari masa kini yang terlalu melelahkan. Itu jika seseorang memiliki masa lalu, sementara aku hanya akan pulang pada sirik di kota ini.
Dan mungkin aku paham mengapa mereka yang terenggut kesenangannya oleh janji-janji dan kewajiban untuk mencintai mengirimiku puisi-puisi perihal keinginan mereka untuk pulang.
Tentu saja, tanpa nama; hanya ada duka, hanya ada lelah.
Aku membacanya tanpa suara, hanya ada cemburu tanpa nada.
Mungkin aku hanya sekedar lelah, namun untuk berlari dari kelelahan tidak pernah menyegarkan, hanya sebatas peristirahatan yang absurd dan sia-sia. Sementara itu racau telah membentuk masa lalu untuk masa depan, yang kelak tidak ingin aku rindukan. Atau mungkin memang demikian, aku hanya cemburu pada mereka yang memiliki masa lalu yang bisa direbahkan kembali sebingkai arti tentang ketenangan dan kesenangan, sementara seumur hidupku telah habis untuk kegelisahan dan kesepian yang sama, bahkan untuk sekedar diulang dalam ingatan bagi sebuah ingin untuk sekejap beristirahat. Betapa menyedihkannya.
Sore ini seseorang mengirim pesan singkat, mungkin titipan semesta, seperti biasa. Ia bertanya tentang tujuan hidupku, dan aku menjawab ingin bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dan omongan-omongan mereka tentang hari-hari yang menyenangkan, yang aku cemburui, naik lagi ke udara yang aku hirupi; karena berbicara tentang masa depan sangat melelahkan. Dan kesadaran bahwa aku tidak memiliki masa lalu untuk menyandarkan kepala semakin menjadikannya melelahkan. Mungkin aku saja yang terlalu banyak mengkhawatirkan kegelisahan, yang seharusnya bisa dinikmati sejalan dengan kesepian. Namun hingga selepas petang ini, masih ada kebas yang tidak bisa dititipkan pada siapa-siapa, tentang sebuah cemburu pada mereka yang merangkul ingatan tentang masa lalu; aku juga ingin pulang, ingin rebah dan bersandar, ingin beristirahat dari segala kelelahan yang dipaksakan oleh jaman yang aku jalani sekarang - sebuah jaman yang terlalu tergesa-gesa dan tak mengerti arti sebuah kesenangan yang hakikatnya telah mereka pendam dalam angan-angan kaum pinggiran.
Aku hanya ingin pulang, entah kemana. Aku cemburu pada mereka yang memiliki masa lalu.
0 comments