Persinggahan
10/19/2011 12:14:00 AM
Betapa asingnya keintiman yang kita punya di kota ini, Aditja. Menit-menit yang kuhabiskan adalah persentuhan-persentuhan tak terelakkan dengan orang-orang yang tak kukenal. Setiap malam sehabis kucuci tubuhku, pelimbangan air di kamar mandi sendat oleh sesisaan makian dari pori-pori, sel-sel kulit yang mati berbau kecabulan, serpihan-serpihan kuku yang meretak, atau sekedar keringat-keringat kemunafikan dan debu kesuaman habis melekat di kulitku. Mereka adalah hasil pertukaran diri yang intim dengan orang-orang yang lucu; yang menjual senyuman yang ringan di dalam kotak-kotak kaca pencakar langit (dan selebihnya di loteng rumah bordir), namun mengobral energi yang begitu melelahkan dalam teriakan-teriakan serupa Bangsat! sambil kemudian meludah di atas aspal. Katakan, Aditja, apakah orang-orang di kota ini memang sedemikian kakunya untuk menyimpan namanya masing-masing, hingga terbiasa memanggil yang lain Anjing?
Mereka ini membingungkan, Aditja. Mereka baik-baik saja menyamakan dan disamakan dengan Anjing. Mungkin karena anjing-anjing di sini tidak seperti anjing-anjing yang seringkali kita temui di pinggir sungai: yang dekil dan koreng, yang daging-daging kemerahannya digesekkan ke sampan karena gatal, yang selalu nyaris mati, tertidur lemas di samping anak-anak yang sama kelaparannya, menangis di samping piring seng di dekat kompor; yang seringkali terkena sial dengan hilang di kemudian hari, setelah malamnya histeris mengaing di bawah karung yang dipukuli ramai-ramai oleh para pemabuk dan lapar di dekat pos ronda. Menjadi anjing di sini baik-baik saja, Aditja; mereka berpakaian, sementara di atas meja kita hanya punya kain masing-masing tiga lembar. Mungkin memang menyenangkan menjadi anjing di kota ini. Anjing-anjing yang kutemui dapat kupastikan bersabun bagus dan wangi, sehingga tak khawatir bau cepat lekat ketika mereka bergerak cepat-cepat. Ya, Aditja, mereka berlari begitu gesit di kota ini. Anjing yang kita pernah jumpai di dekat pekuburan hanya berjalan sepersepuluh kali, mungkin karena membawa beban tak kasat mata di punggungnya yang cekung tulang-tulang.
Atau mungkin saja tidak.
Mungkin memang yang datang dari tempat kita berasal terbiasa bergerak terlalu lamban. Tidak seperti anjing-anjing yang cekatan di kota ini, aku berjalan terlalu lambat. Terlalu lamban, Aditja. Kelambanan yang mengerikan, yang memaksa aku untuk bisa semakin dalam menikmatinya. Tapi kuturuti pesanmu untuk hanya tunduk pada kehati-hatian, namun tetap saja. Aku kalah cekatan dari anjing-anjing di kota ini, tidak bisa kumenangi lomba lari seperti dengan anjing yang kita temui di sepanjang alir sungai. Aku tersandung, Aditja, terlalu sering tersandung.
Mungkin karena kota ini tak selapang tempat kita berasal. Detik terbang terlalu ramai di udara kota ini, mengapung bersama nafas-nafas yang tersengal dengan mengerikannya. Hanya ada gesa, Aditja. Hanya ada gesa. Tidak ada jarak lapang untuk aku menarik nafas dalam-dalam, karena yang kulakukan sepanjang hari di tengah keintiman yang ganjl dan asing ini adalah perebutan nafas. Hanya ada abu-abu nyaris hitam di sekitar penciuman yang ingin sekali kutahan agar tak kuhirup, namun tak ada sisa barang segenggaman tangan pun yang jernih di udara di setiap sudut kota ini; bahkan di dalam rumah-rumah ibadah. Tuhan singgah hanya di bunyi renceng di kantung-kantung mereka.
Yang aneh, Aditja, aku bahkan tidak ingat untuk sekedar rindu ingin pulang hingga pada suatu siang seseorang yang tak kukenal akhirnya mengajakku berbicara.
Katanya, "Apa kau tahu dimana Bahagia?"
Ia seperti muncul begitu saja dari balik semak-semak di pinggir trotoar. Pakaiannya kumal, Aditja, hingga kupikir ia seharusnya seseorang dari tempat kita berasal yang terlewatkan untuk kukenal sebelum aku tiba di kota ini, maka kujawabi dia, "Entahlah."
"Pelit!", tiba-tiba saja ia meneriakiku, Aditja. Namun aku terbiasa dengan amarah yang terlalu tiba-tiba di kota ini, maka aku hanya memandanginya, menunggu ia melanjutkan saja perkataannya. Tapi ia tidak berkata apa-apa, hanya dahinya yang mengkerut menatapku kesal.
"Aku pelit?" tanyaku.
"Ya! Kau pelit!," ia berteriak lagi sambil mengacungkan telunjuknya ke wajahku, dan untuk yang ini pun aku sudah terbiasa, Aditja; semoga kau tidak membenciku ketika aku marah dan lupa diri lalu mengacungkan telunjukku ke wajahmu.
"Kau bertanya dimana Bahagia, aku tidak tahu apa-apa," akhirnya jawabku.
Suara yang keluar dari dirinya hanya dengusan kesal. Semakin kupandangi ia lekat-lekat menunggu perkataannya, semakin kesal wajahnya.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang Bahagia," ulangku.
Ia meninju telapak tangan kirinya sambil mengeluarkan suara "ARGH" yang begitu keras. Hanya "ARGH!" yang terus berulang kemudian, sambil ia menghentak-hentakkan kakinya ke aspal jalan yang begitu panas siang itu. Aku tahu ia kesal, Aditja, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. "Maaf, aku benar-benar tidak tahu dimana Bahagia," kuulangi lagi.
Ia berhenti meninju-ninju telapak tangannya sendiri dan kakinya tak lagi menantangi aspal.
"Tapi kau telah datang ke kota ini," ujarnya dengan jeda di setiap kata yang diucapkan, penekanan pada setiap maknanya. Ia tahu aku bukan dari kota ini, Aditja.
"Apa kita pernah saling mengenal dari tempat yang sama kita berasal?" langsung saja kuterka.
Ia menggeleng, "Tidak. Tapi aku tahu bahwa kau pendatang. Kau datang ke kota ini."
Ia mulai tenang, meski kesal masih bersisa di nafasnya yang sengal, masih memberi jeda di setiap kata. Ia tahu aku bukan dari kota ini, Aditja. Apakah itu yang terjadi sepanjang waktu yang kuhabiskan dengan kebingungan di sini: orang-orang di kota ini menghindari pendatang asing sebagaimana terlihat dari wajahku?
"Bagaimana kau tahu?"
"Kau datang mencari Bahagia di sini," jawabnya, dengan suara yang serak dan berat.
Ia tahu aku mencari bahagia di kota ini, Aditja. Bukankah aku seharusnya gelisah, ketika seorang yang asing dan penuh amarah tiba-tiba menghadang dan seolah tahu begitu banyak tentang diriku? Tapi ia sama asingnya denganku di hadapan orang-orang di kota ini, Aditja.
"Kau telah datang ke kota ini mencari Bahagia. Tunjukkan, dimana Bahagia?" ulangnya lagi, parau.
Aku diam kala itu. Aku tidak mengingatmu selintas ia mempertanyakan mengapa aku datang ke kota ini. Yang kuingat adalah kereta, dengan aku mengejar, berlari tergesa di kala subuh, lari dari gubuk dengan tas yang membebani pundakku tak lebih dari kerat-kerat kayu yang biasa kupanggul dari dalam hutan. Sesudahnya hanya ada suara-suara di dalam benakku untuk tidak menoleh balik, lalu bunyi bising dari cerobong dan asap hitam yang mengajak aku mengaburkan semua yang telah kulewati di tempat kita berasal. Bukankan untuk lari dengan diam-diam itu menyenangkan, Aditja? Tanpa ada lambaian tangan, tanpa ada pelukan, tanpa ada air mata yang curi-curi bertetesan; atau bahkan tanpa ada kenangan yang tertinggal, bahkan sekedar lewat bayangan.
"Beritahu aku dimana Bahagia!" teriaknya lagi, tiba-tiba.
Gantian aku yang kesal. "Kenapa aku harus tahu dimana Bahagia!"
"Karena kau telah datang ke kota ini!"
"Lantas kau pikir telah kutemukan Bahagia!"
Ia diam. Tercengang. Gantian ia yang memandangiku lekat-lekat. Amarahnya habis tiba-tiba. Aditja.
Ia membuka mulutnya tanpa ada suara. Hanya udara yang tersendat. Cengang sontak yang tak tergambar.
"K..Kau," ujarnya terbata-bata,"juga tak kunjung menemukan Bahagia?"
Kami hanya diam bertatapan, entah harus memulai mengisi keheningan dengan perkataan apa.
"Juga?" Aku hanya bisa menjawab sepatah.
"Aku....." Matanya mengawang, Aditja. Tiba-tiba sedih sekali, semuram malam di tempat kita berasal ketika kita mendengar berita anak kepala desa ditemukan mati di pinggir sungai.
"Aku pikir hanya aku yang tak kunjung menemukan bahagia di kota ini," desahnya.
Lidah yang bergetar dengan nyeri di dalam rongga mulutku menjadi kelu, Aditja.
Sesudahnya ia berkata, "Aku tersesat."
Aditja, kurasa aku juga.
Dan kupikir, orang-orang di kota ini juga; mereka hanya terlalu tergesa untuk sekedar mengakuinya.
Tiba-tiba saja di antara bising bebunyian dari mesin-mesin dan orang-orang yang tak kunjung bisa kupahami ini, aku melihat masa lalu, Aditja. Betapa landainya masa lalu yang ingin kutinggalkan di atas rel menuju kota ini. Denting-denting lonceng di leher sapi dan kerbau seperti mampir di udara di kota ini, namun rasanya jauh sekali. Juga aroma padi, Aditja, seperti mencibir dari terik yang hanya membagi kesal dengan orang-orang yang tidak kenal, yang di atas angkutan bersenggolan. Juga canda-canda di bawah dahan tentang angan yang tidak pernah selesai. Ah, itu kenangan, Aditja. Hanya bersisa kesempatan untuk jadi masam di kota ini.
Telah kutemukan kehidupan dengan kegesitan yang mengagumkan, Aditja. Ramai bertalu-taluan, bersahut-sahutan bersama rongrongan yang keluar dari mulut-mulut yang sudah tak tahu lagi punya siapa. Tidak ada yang bersisa di dalam jiwa, semuanya terbang di udara kota ini. Kutemukan semua simpanan pembicaraan dan pikiran-pikiran kotor yang tersimpan di kepala, yang di kota ini terdengar begitu nyaring di jalanan dan perkantoran, sekali waktu aku pernah singgah. Semuanya teraba, Aditja, tapi tak ada satu orang pun di kota ini yang telanjang. Mungkin kota ini memang dibangun dari para pesolek-pesolek yang piawai, Aditja? Limbung rasanya untuk berdiri di jalanan kota ini lebih lama lagi. Aku punya ramai yang mengakari kesepian di sini. Kutemukan semua yang kita cita-citakan di atas sampan waktu kita remaja, Aditja.
Semuanya, Aditja, kecuali Bahagia.
Bahagia, Aditja, tertinggal jauh di belakang; mungkin sama lambannya dengan aku, yang tak kunjung sampai mengejar ketergesaan di kota ini. Tertinggal di tetesan-tetesan embun yang menitik di kelopak matamu, juga di antara jejak-jejak tulang daun yang patah di purnama yang pertama. Di sana, di tempatmu berada; di tempatku berasal. Tidak di kota ini, dimana detik hanya mampir untuk kemudian lari tanpa pamit. Tidak ada pamit, Aditja, hanya menyisakan pamrih. Dan itu adalah manis yang dijaja di sini.
Aditja, aku ingin pulang.
2011
Yang aneh, Aditja, aku bahkan tidak ingat untuk sekedar rindu ingin pulang hingga pada suatu siang seseorang yang tak kukenal akhirnya mengajakku berbicara.
Katanya, "Apa kau tahu dimana Bahagia?"
Ia seperti muncul begitu saja dari balik semak-semak di pinggir trotoar. Pakaiannya kumal, Aditja, hingga kupikir ia seharusnya seseorang dari tempat kita berasal yang terlewatkan untuk kukenal sebelum aku tiba di kota ini, maka kujawabi dia, "Entahlah."
"Pelit!", tiba-tiba saja ia meneriakiku, Aditja. Namun aku terbiasa dengan amarah yang terlalu tiba-tiba di kota ini, maka aku hanya memandanginya, menunggu ia melanjutkan saja perkataannya. Tapi ia tidak berkata apa-apa, hanya dahinya yang mengkerut menatapku kesal.
"Aku pelit?" tanyaku.
"Ya! Kau pelit!," ia berteriak lagi sambil mengacungkan telunjuknya ke wajahku, dan untuk yang ini pun aku sudah terbiasa, Aditja; semoga kau tidak membenciku ketika aku marah dan lupa diri lalu mengacungkan telunjukku ke wajahmu.
"Kau bertanya dimana Bahagia, aku tidak tahu apa-apa," akhirnya jawabku.
Suara yang keluar dari dirinya hanya dengusan kesal. Semakin kupandangi ia lekat-lekat menunggu perkataannya, semakin kesal wajahnya.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang Bahagia," ulangku.
Ia meninju telapak tangan kirinya sambil mengeluarkan suara "ARGH" yang begitu keras. Hanya "ARGH!" yang terus berulang kemudian, sambil ia menghentak-hentakkan kakinya ke aspal jalan yang begitu panas siang itu. Aku tahu ia kesal, Aditja, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. "Maaf, aku benar-benar tidak tahu dimana Bahagia," kuulangi lagi.
Ia berhenti meninju-ninju telapak tangannya sendiri dan kakinya tak lagi menantangi aspal.
"Tapi kau telah datang ke kota ini," ujarnya dengan jeda di setiap kata yang diucapkan, penekanan pada setiap maknanya. Ia tahu aku bukan dari kota ini, Aditja.
"Apa kita pernah saling mengenal dari tempat yang sama kita berasal?" langsung saja kuterka.
Ia menggeleng, "Tidak. Tapi aku tahu bahwa kau pendatang. Kau datang ke kota ini."
Ia mulai tenang, meski kesal masih bersisa di nafasnya yang sengal, masih memberi jeda di setiap kata. Ia tahu aku bukan dari kota ini, Aditja. Apakah itu yang terjadi sepanjang waktu yang kuhabiskan dengan kebingungan di sini: orang-orang di kota ini menghindari pendatang asing sebagaimana terlihat dari wajahku?
"Bagaimana kau tahu?"
"Kau datang mencari Bahagia di sini," jawabnya, dengan suara yang serak dan berat.
Ia tahu aku mencari bahagia di kota ini, Aditja. Bukankah aku seharusnya gelisah, ketika seorang yang asing dan penuh amarah tiba-tiba menghadang dan seolah tahu begitu banyak tentang diriku? Tapi ia sama asingnya denganku di hadapan orang-orang di kota ini, Aditja.
"Kau telah datang ke kota ini mencari Bahagia. Tunjukkan, dimana Bahagia?" ulangnya lagi, parau.
Aku diam kala itu. Aku tidak mengingatmu selintas ia mempertanyakan mengapa aku datang ke kota ini. Yang kuingat adalah kereta, dengan aku mengejar, berlari tergesa di kala subuh, lari dari gubuk dengan tas yang membebani pundakku tak lebih dari kerat-kerat kayu yang biasa kupanggul dari dalam hutan. Sesudahnya hanya ada suara-suara di dalam benakku untuk tidak menoleh balik, lalu bunyi bising dari cerobong dan asap hitam yang mengajak aku mengaburkan semua yang telah kulewati di tempat kita berasal. Bukankan untuk lari dengan diam-diam itu menyenangkan, Aditja? Tanpa ada lambaian tangan, tanpa ada pelukan, tanpa ada air mata yang curi-curi bertetesan; atau bahkan tanpa ada kenangan yang tertinggal, bahkan sekedar lewat bayangan.
"Beritahu aku dimana Bahagia!" teriaknya lagi, tiba-tiba.
Gantian aku yang kesal. "Kenapa aku harus tahu dimana Bahagia!"
"Karena kau telah datang ke kota ini!"
"Lantas kau pikir telah kutemukan Bahagia!"
Ia diam. Tercengang. Gantian ia yang memandangiku lekat-lekat. Amarahnya habis tiba-tiba. Aditja.
Ia membuka mulutnya tanpa ada suara. Hanya udara yang tersendat. Cengang sontak yang tak tergambar.
"K..Kau," ujarnya terbata-bata,"juga tak kunjung menemukan Bahagia?"
Kami hanya diam bertatapan, entah harus memulai mengisi keheningan dengan perkataan apa.
"Juga?" Aku hanya bisa menjawab sepatah.
"Aku....." Matanya mengawang, Aditja. Tiba-tiba sedih sekali, semuram malam di tempat kita berasal ketika kita mendengar berita anak kepala desa ditemukan mati di pinggir sungai.
"Aku pikir hanya aku yang tak kunjung menemukan bahagia di kota ini," desahnya.
Lidah yang bergetar dengan nyeri di dalam rongga mulutku menjadi kelu, Aditja.
Sesudahnya ia berkata, "Aku tersesat."
Aditja, kurasa aku juga.
Dan kupikir, orang-orang di kota ini juga; mereka hanya terlalu tergesa untuk sekedar mengakuinya.
Tiba-tiba saja di antara bising bebunyian dari mesin-mesin dan orang-orang yang tak kunjung bisa kupahami ini, aku melihat masa lalu, Aditja. Betapa landainya masa lalu yang ingin kutinggalkan di atas rel menuju kota ini. Denting-denting lonceng di leher sapi dan kerbau seperti mampir di udara di kota ini, namun rasanya jauh sekali. Juga aroma padi, Aditja, seperti mencibir dari terik yang hanya membagi kesal dengan orang-orang yang tidak kenal, yang di atas angkutan bersenggolan. Juga canda-canda di bawah dahan tentang angan yang tidak pernah selesai. Ah, itu kenangan, Aditja. Hanya bersisa kesempatan untuk jadi masam di kota ini.
Telah kutemukan kehidupan dengan kegesitan yang mengagumkan, Aditja. Ramai bertalu-taluan, bersahut-sahutan bersama rongrongan yang keluar dari mulut-mulut yang sudah tak tahu lagi punya siapa. Tidak ada yang bersisa di dalam jiwa, semuanya terbang di udara kota ini. Kutemukan semua simpanan pembicaraan dan pikiran-pikiran kotor yang tersimpan di kepala, yang di kota ini terdengar begitu nyaring di jalanan dan perkantoran, sekali waktu aku pernah singgah. Semuanya teraba, Aditja, tapi tak ada satu orang pun di kota ini yang telanjang. Mungkin kota ini memang dibangun dari para pesolek-pesolek yang piawai, Aditja? Limbung rasanya untuk berdiri di jalanan kota ini lebih lama lagi. Aku punya ramai yang mengakari kesepian di sini. Kutemukan semua yang kita cita-citakan di atas sampan waktu kita remaja, Aditja.
Semuanya, Aditja, kecuali Bahagia.
Bahagia, Aditja, tertinggal jauh di belakang; mungkin sama lambannya dengan aku, yang tak kunjung sampai mengejar ketergesaan di kota ini. Tertinggal di tetesan-tetesan embun yang menitik di kelopak matamu, juga di antara jejak-jejak tulang daun yang patah di purnama yang pertama. Di sana, di tempatmu berada; di tempatku berasal. Tidak di kota ini, dimana detik hanya mampir untuk kemudian lari tanpa pamit. Tidak ada pamit, Aditja, hanya menyisakan pamrih. Dan itu adalah manis yang dijaja di sini.
Aditja, aku ingin pulang.
2011
0 comments