calon
10/09/2011 08:30:00 PM
Seorang calon pengantin perempuan menangis di bilik sebuah gereja. Dadanya, yang pengap oleh korset membuat perutnya sedikit lebih ramping, semakin sesak oleh sendat-sendat nafasnya yang terus-terusan disalip oleh isakan. Hanya ada si calon mempelai perempuan dengan ibunya yang hampir menyerah merujuk putrinya di dalam kamar. Suara tangisan yang mengganggu, lunturan-lunturan eyeliner dan maskara yang meleber sampai ke pipinya yang -tadinya- menebal nol koma sekian senti, dan bibir yang gemetaran -- ibunya migrain, menambah beban di kepala yang sudah dibuat pusing oleh sanggul yang terlalu tinggi.
"Saya mau pergi, Ma. Saya mau pergi," ujarnya di sela tangisan.
"Kamu mau lari, bukan mau sekedar pergi," sahut ibunya.
Isakan panjang mengisi lorong. Mungkin terdengar sampai ke ruang sakristi, berisi empat orang misdinar yang diam bertatapan dengan salah tingkah, sekedar menunggu aba-aba. Sementara si Pastor, seorang Yesuit - atau mungkin bukan, yang sebenarnya tidak begitu penting ordonya di dalam kisah ini - migrain sama parahnya dengan si ibu calon mempelai.
Sebelumnya, si Pastor sempat masuk ke bilik tempat si calon pengantin perempuan menangis selama hampir dua jam. Tidak memperbaik apa-apa, yang ada hanya jawaban-jawaban meninju buat si Pastor.
"Apa yang dipersatukan Tuhan tidak bisa dipisahkan manusia, kan, Romo?" cecar si calon pengantin perempuan, disahuti dengan Pastor yang mengiyakan.
"Jika pemberkatan ditunda, berarti saya dan Hendra belum disatukan Tuhan, kan, Romo?"
Pastor itu diam, kemudian ketika ingin membuka suara tentang definisi "satu" dalam konteks berpacaran, si calon pengantin perempuan sudah keburu melanjutkan,
"Katakan, Romo. Apakah di antara mama saya dan mama Hendra ada yang terlihat seperti Tuhan yang berkuasa untuk menyatukan saya dan Hendra?"
Pastor itu diam lagi. Kali ini, dia enggan buka suara. Hanya ibunya yang meneriakkan nama si calon pengantin perempuan penuh pekak, sambil memukul meja kayu.
"Katakan, Romo," lanjut si calon pengantin perempuan, "Apa yang lebih penting dari sebuah persekutuan selain kejujuran?"
Ibunya melirik ke si Pastor, yang akhirnya terpaksa berhomili dadakan di dalam bilik. Kali ini membicarakan sikap penerimaan, pengendalian diri dari amarah yang membutakan, keheningan dan kekosongan untuk mendengarkan suara Tuhan yang mungkin sedang diabu-abui oleh kecemasan si calon pengantin perempuan semata, yang membuat si Jahat menguasainya dengan rasa takut akan pernikahan.
Gantian, kali ini si calon pengantin yang berteriak histeris sambil menghentak lemari,
"Romo tidak pernah menikah, maka tidak perlu berbicara apa-apa tentang pernikahan!"
Si Pastor memilih untuk mengundurkan diri dari bilik.
Sementara ayahnya hanya memberi pernyataan, "Terserah" yang membuat ibu si calon pengantin perempuan melemparinya dengan kotak rokok yang direnggut dari tangan suaminya, ibu si calon pengantin laki-laki memaksa masuk lagi ke bilik dengan lebih bersungut-sungut.
"Sekarang bagaimana??"
Si calon pengantin perempuan menoleh pun tidak. Ia hanya berkata lirih, "Ya sudah."
Ya sudah, katanya. Ya sudah. Ya sudah kita mulai pemberkatannya? pikir si ibu.
"Panggil Romo-nya, kita bersiap," ujar si ibu dan calon mertuanya berbarengan.
"Ya sudah batalkan saja," sergah si calon pengantin cepat.
Klise, sebuah tamparan mendarat di pipi; dilanjutkan dengan ocehan bersahut-sahutan antara ibunya dan calon mertuanya. Memusingkan kepalanya.
"Siapa yang membatalkan pernikahan, siapa yang tidak jadi berbahagia," desahnya.
"Siapa yang mengeluarkan biaya, siapa yang seenak jidat menyia-nyiakannya," jawab si calon mertua, yang tentu saja, membiayai segala persiapan pernikahannya.
Tidak ada yang mau menyahuti. Hanya ada hening panjang yang penuh emosi.
"Biar kubawa Seto ke sini. Kulihat si begajulan itu berani datang ke hari pernikahanmu. Harusnya berani juga dia bilang bahwa kalian sudah bukan apa-apa," ujar si calon mertua.
Si calon pengantin perempuan tersentak, "Jangan!"
Bukan karena ia enggan bertemu, karena rindunya sendiri pun sudah entah bagaimana bentuknya karena dicambuk begini dan begitu. Yang menjadi masalah hanyalah membayangkan bertemu Seto di gereja untuk pemberkatan pernikahannya hanya melahirkan satu opsi: minta Seto membawanya lari kemana saja, dan tentu Seto hanya akan menjawab 'mau'.
"Lucu kamu! Mau makan cinta? Makan itu cinta! Makan!" teriak calon mertuanya.
"Saya masih mau S2! Saya tidak mau menikah!" jawab si calon pengantin.
"Bohong tidak guna. Kamu mau menikah! Tapi bukan dengan Hendra!" jelas ibunya.
"Saya hanya mau dengan Seto, tapi bukan berarti saya mau menikah! Saya bisa saja menikah dan memacari Seto di belakang Hendra!"
Sinetron sekali kisah ini, si calon pengantin perempuan berkata dalam hatinya yang ingin meneriakkan bahwa ia memang tidak pernah percaya pada pernikahan.
"Ini 2011. Kamu mau tinggal di pinggir jalan? Di kolong jembatan sama si Seto itu?"
"Astaga, Tante!" ia tidak pernah mau mengikuti kata Hendra untuk memanggil calon mertuanya dengan 'Mama', "Seto itu seniman, bukan gelandangan!"
Ia tertawa sarkas. "Apa bedanya?!"
"Seto akan jadi resmi jadi sarjana bulan depan!"
"Dan akan memberimu makan dengan lukisan? Ha!"
Si calon pengantin perempuan tidak ingin melanjutkan perdebatan yang entah sudah berapa episode berulang terus menerus. Ia tahu lanjutannya, dan tahu apa maksudnya. Ia hanya diam. Diam yang panjang. Isi kepalanya sudah lari entah kemana, lalu kosong. Hanya kosong. Ia berjalan keluar dengan tata rias wajahnya yang menjadikannya mengerikan, mendekati ayahnya. Keduanya saling memeluk sebentar, si calon pengantin mengambil rokok dari saku kemeja ayahnya yang tanpa suara menyalakan rokok di bibir putrinya, lalu berjalan berkeliling di bawah lonceng di belakang gereja meninggalkan ibu dan calon mertuanya yang menangis sejadi-jadinya, masih dengan sakit kepala. Sementara calon suaminya, entah bagaimana perasaannya, entah bagaimana pikirannya, entah bagaimana keputusannya. Yang penting menikah. Sekian.
*
"Dan kau, Kamala Sastrowidyo, apakah kau bersedia menerima Hendra Dwiantara sebagai pasangan hidupmu, dalam susah mau pun senang?"
Ia memalingkan wajah dari kayu salib raksasa di belakang altar.
Tahi sekali, ujarnya dalam hati. Saya terbiasa makan nasi sekali sehari, dan masih hidup dengan bahagia. Hanya sekedar berbagi kopi dan seni dengan Seto, dan masih hidup sejahtera. Tahi, tahi sekali.
Ia melirik ke deret bangku paling belakang. Seto, mantan -atau sebutlah, masih, atau mungkin calon mantan- kekasihnya, duduk dengan wajah tanpa warna, tanpa bahasa. Ia seorang calon sarjana seni. Dan ibukota, akan dengan segera merebus manusia-manusia seperti si calon pengantin perempuan dengan Seto. Sederhana, tapi demikian realita berkata yang gaungnya telah lebih dulu sampai di telinga ibunya. Demi langit dan bumi, ia tidak akan memaafkan dirinya jika melihat putrinya hidup kelewat sederhana mendekati garis menderita, meski barangkali justru dengan demikian anaknya benar-benar bahagia.
Hanya ada hening panjang di dalam gereja. Gelisah menular cepat di udara.
Diliriknya lagi Seto yang melipat tangan di depan dada, masih tak berbahasa apa-apa, hanya gelisah meraba-raba kantung berisi kotak rokok di saku kemeja kotak-kotak yang berakrilik di kerah dan lipatan sikunya. Seto tahu jawabannya. Kamala tahu apa yang Seto tahu.
Pastor yang tadi ia teriaki di bilik mengernyitkan alis, mengulangi pertanyaannya, melihat wajah Kamala sedikit meratap ingin selesai segera; ia belum makan siang.
Kamala, dengan mulutnya masih bau tembakau dan sedikit berbau bir murah yang ia curi-curi waktu untuk beli di warung dekat parkiran sehabis merokok dengan ayahnya yang tidak pernah mengganti jawaban 'terserah'-nya, berdiri dengan kaki gemetar di depan altar. Sementara di hadapannya, Hendra, calon suaminya, seorang calon general manajer tersenyum menang. Ini bukan kisah roman picisan, katanya. Ini bukan drama murahan.
Atau mungkin saja kisah ini memang kisah roman picisan, atau setidaknya, pernah jadi calon kisah picisan, sebagaimana kisah ini pernah jadi calon kisah kemelaratan (bagi ibunya), atau calon kisah kebangkrutan dan kegengsian (bagi calon mertuanya), dan beberapa detik yang lalu sempat jadi calon kisah kesyahwatan (bagi calon suaminya). Sementara Kamala, meliriki Seto yang berjalan ke arah pintu gereja, tanpa pernah memahami air mukanya, menggiti bibirnya.
Maka demikian kisah si calon pengantin perempuan. Seiring bunyi lonceng gereja dan kumandang kelegaan naik ke kubah gereja, hanya ada perempuan bergaun putih panjang yang bagi laki-laki ber-converse yang berjalan sambil merokok tanpa perubahan air muka meninggalkan gereja telah bersisa menjadi sekedar calon. Mungkin saja calon sajak, atau petikan gitar, atau mungkin sebuah lukisan, yang mungkin saja lirih.
2011
0 comments