seputaran lantur pikiran

7/17/2011 05:37:00 PM

membayangkan hidup sebagai jiwa yang bebas sepertinya menyenangkan: tidak menikah, tidak mengurus anak, bisa 'hinggap' di area pertemanan dari berbagai latar belakang, pergi ke sana ke sini, bekerja sebagai desainer, ilustrator, dan penulis lepas, mengajar di universitas ini dan itu, tidak terikat pada institusi agama; melakukan apa saja. saya ingin hidup bebas.
di dalam busway menuju blok m kemarin siang saya tiba-tiba kepikiran tentang kepemilikan anak dan pernikahan (isu lama dalam kepala). my close friends selalu mengidentikkan saya sebagai yang paling ngebet mau punya anak. saya suka anak kecil, satu dari alasan-alasan kenapa saya bahagia jadi volunteer di TFI, dan sering keluar dari mulut saya, "aduh jadi pengen punya anak." kalau untuk "punya anak" cuma sekedar gunyel-gunyel, main-main, bacain cerita, gelitikan, ngajarin ini dan itu sih iya, saya beneran mau punya anak.
dan terus siang tadi, si @farizbjorn mention saya di twitter, nanya pendapat saya tentang patriarchy (dia mengutip artikel tentang saksi Yehova di Wikipedia), dimana suami itu dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam membuat keputusan keluarga, meski dia juga harus bisa mengumpulkan pemikiran istri dan anak-anaknya. saya enggak pernah membayangkan diri saya ada dalam posisi seorang "istri", jadi tadi saya jawabin dari sudut pandang saya yang melihat perempuan sebagai istri yang dinomorduakan. tadi saya kepikiran aja, kalau orang berpola pikir bahwa perempuan = emosi, sementara laki-laki = rasio; rasio tetap membutuhkan emosi tapi otoritas tertinggi tetap di rasio (sesuai pandang orang pada umumnya). agak aneh. jadi males kalo harus "tunduk" pada suami. dan gara-gara itu saya jadi kepikiran, kayaknya kebanyakan sekarang kan orang mikirnya gitu, semua ditentukan harus oleh suami. titik. ah. saya jadi inget artikel tentang feminisme dan pekerjaan sosial yang menyebutkan jenis-jenis feminisme, yang salah satunya adalah feminisme radikal yang menyebut pernikahan sebagai bentuk "formalisasi pendiskriminasian terhadap wanita" (Teori Feminisme dan Pekerjaan Sosial - Edi Suharto, PhD) yang saya pikir agak lebay waktu itu; tapi gara-gara pertanyaan fariz tadi dan kesadaran tentang pola pikir society sekarang, memang ada benernya juga.
dan itu jadi satu dari alasan-alasan kenapa saya enggak kepikiran mau nikah. lah sama otoritas institusi agama aja saya enggak kepengin tunduk, ini lagi sama suami :| si dita pernah ngomong, "lu enggak mau nikah tapi pengen punya anak el, gimana sih." jadi, masih di dalam bis, saya kepikiran untuk adopsi anak. tapi akhirnya saya singkirin ide itu, karena sesuatu dalam diri saya bilang bahwa kemungkinan besar anak yang udah saya enggak akan punya banyak waktu untuk anak yang saya adopsi itu. karena saya pengin melakukan banyak hal, tanpa harus repot dengan tanggung jawab di rumah yang akan banyak menguras pikiran dan sebagainya. jadi kemarin, saya punya kesimpulan sementara bahwa saya enggak akan nikah dan juga enggak akan punya anak.
mungkin keluarga saya akan bilang bahwa kehidupan saya akan lebih baik dengan menikah, karena saya perempuan dan suami saya yang akan menanggung beban keluarga. ah. berapa banyak sebenarnya jumlah perempuan yang akhirnya memutuskan untuk menikah bukan karena berpikir "supaya hidup gue enak, soalnya nanti kan ada suami gue yang nanggung semua"? saya lebih kepingin menikmati segala pekerjaan saya nanti karena memang i love to do it, tanpa harus kepikiran tanggungan dalam keluarga kalau sampai harus menikah.
lalu saya sampai pada pertanyaan pada diri sendiri, kalau sebenarnya saya cuma orang yang takut sama komitmen. dan sulit buat saya jawab "enggak". saya agak males sama komitmen (yang berhubungan sama hubungan dengan orang lain). pacaran (dengan komitmen jelas yang harus begini dan begitu) aja saya males banget. dan orang harus terbiasa membedakan orang yang enggan berkomitmen dengan orang yang enggak punya prinsip hidup. saya punya prinsip-prinsip yang saya pegang pribadi, dan engga perlu diikutcampuri orang lain; semisalkan untuk stay virgin, untuk tetap jadi straight egde, dan lain-lain, yang enggak perlu dijadiin mengukur moral dan etika individu.
oh ya, si arkan beberapa kali menyebut saya deBeauvoirian hahaha, pertama dia bilang saya idealis deBeauvoirian, kedua feminis deBeauvoirian, yang ujung-ujungnya tetep sama: "tapi masih pengen punya suami." saya masih bertanya tanya apa yang bikin seseorang disebut sebagai feminis, tapi seberapa pentingnya  sih label? dan oh, meski saya pro-LGBT, saya belakangan lagi meriksa orientasi saya sih, dan ternyata memang straight. mungkin maksudnya si arkan mau mempertegas itu dgn bilang saya masih pengen punya suami :P tapi biar gimana juga, katanya si arkan, kalo saya nanti sampe nikah, saya harus kasih jadwal khusus pelantikan diri saya sebagai kader partai munafikisme kasta brahmana (tertinggi). kampret enggak sih hahaha tapi lumayan, katanya dapet rumah barbie :P masa depan siapa yang tau sih? katanya rigina, mau tau saya udah nemu Mr.Right atau belum itu gampang: kalo nanti saya berubah pikiran mau nikah dengan si cowok ini, kemungkinan besar dia Mr.Right saya. mungkin sih. mungkin.
tapi kasian juga ya suami saya nanti, apes dia dapetin saya. bakal saya tinggal-tinggal melulu. saya masih kepengin jadi pekerja sosial. masih kepengen ikutan jadi relawannya PBB juga. pengen ngajarin anak-anak jalanan. pengen ini pengen itu dan begitulah begitulah begitulah. yakali suami saya aktivis gitu ya, kita sama-sama bisa "asik sendiri" kan enak, tapi pasti repot dah para mertua: kapan punya anak? kapan punya anak? kenapa suami kamu tinggal-tinggal terus? kamu kok begini? kamu kok begitu? heu. kadang saya bingung sama cara orang tua mengasihi: standard bahagianya mereka itu suka semacam proyeksi aja cita-cita mereka terjelma dalam diri anaknya apa enggak. hayeuh.
dan lagi yah, ini gara-gara pertanyaan arkan pas chatting dini hari tadi, "pernah nanya gak el, kita di sini tuh sebenernya untuk apa?". itu pertanyaan saya setiap hari, yang bikin saya makin lama makin jadi nihilis. pertanyaan tentang kehidupan diri sendiri aja saya gak bisa jawab, apalagi kalo sampe saya punya anak (individu loh itu, manusia bernyawa yang kita punya tanggung jawab terhadapnya). mau saya jelasin apa ke dia tentang semesta? tentang eksistensi? tentang hal-hal yang bolong di sains? tentang dasar dari segala dasar kehidupan? hah jangan sampe deh. ada ketakutan besar ngebayangin kalo saya sampe nikah. rencana hidup saya entah bakal berantakannya kayak apaan ya. tapi mau berantakan atau engga pun, saya tetep sama nihilnya. untuk apa sih kita di dunia? waktu SMA saya pernah mikir kalo Tuhan itu nyiptain manusia supaya ada yang bisa mulia-muliain Dia, tapi masa iya Tuhan se-megalomaniak itu? terus pernah kepikiran juga di awal kuliah, jangan-jangan Tuhan itu memang seneng main-main, dan kita, manusia ini cuma satu dari keisengan Dia: bidak-bidak manusia dilempar ke dalem labirin buat cari jalan pulang ke Dia, tapi penuh sesat dan penuh ketidakjelasan, dan Dia cuma ketawa kesenengan gitu liat manusia dengan hakikatnya untuk menjadi bingung. bahkan kata Barth, Tuhan itu kan melampaui dimensi jarak dan waktu, maka dengan demikian, manusia yang bahasanya hanya terbatas pada jarak dan waktu, enggak akan pernah bisa "sampai" pada bahasa untuk mengerti Tuhan sepenuhnya. ini Tuhan demen ya bermain? jadi makin nihil. buat apa sih kita di dunia? arkan bilang "untuk saling mencinta, saling mencinta sesama" tapi mungkin memang pada dasarnya manusia enggak pernah, pasti kita nanya, untuk apa? apa jawaban paling dasar dari kenapa kita harus saling mencintai? akhirnya malah saya jawabin sendiri, "buat mengisi kekosongan waktu Tuhan lagi abstain." halah. absurd pikiran saya.
mungkin mereka yang berjiwa bebas, yang pengen hidup bebas itu, adalah mereka yang sama kayak saya: yang membangun makna individu aja enggak ketemu-ketemu, jadi ngapain juga sok-sok komitmen sama individu lain? atau mungkin sekedar bentuk pemuasan terhadap rasa penasaran aja kali ya sama maknanya  sendiri sebagai satu individu, yang enggak pengen diganggu dengan komitmen terhadap orang "asing".
ah. happy are those who die young.

You Might Also Like

1 comments

  1. Pisau diciptakan untuk memotong, gelas sebagai wadah untuk menampung air, manusia untuk memuliakan Tuhan. =D

    ReplyDelete

followers

Subscribe