Antara dua atau tiga minggu yang lalu akhirnya kesampean berkunjung ke Fakultas Ilmu Bahagia - Universitas Impian buat survey ide film yang awalnya saya pikir bakal mustahil bisa terlaksana, sampe akhirnya temen saya yang 'memangku' jabatan produser meng-iya-kan, dan hari Senin menginjakkan kaki di kansas. BAHAGIA!!

Nah, temen saya yang memang mahasiswa sana suggested buat survey ke pinggir danau jembatan teksas (teknik-sastra), katanya "Ada bangku yang seperti di antah berantah."

Begitu sampe sana tercengang, soalnya enggak pernah liat spot asik buat mojok yang kayak gitu di kampus #eh.

Selesai cameraperson tim saya coba-coba cari angle, produser, dan saya sebagai scriptwriter mengenak-enakkan tempatnya, tiba-tiba saya kesambet liat ilalang yang banyak banget di pinggir danau.

"Kadang.. saya iri sama ilalang."

Ngomong sendiri aja, random. Terus disorakin sama produser, cameraperson, dan editor. "Caielah ellena."

Enggak tau, kayaknya berasa 'rendah' di hadapan ilalang. Dan akhirnya masuklah dialog "Kadang saya iri sama ilalang" ke dalam script saya, dan bikin saya kepikiran sampe sekarang.

Cuplikannya begini:

Arga
Kadang saya iri sama ilalang


Adira mengerutkan kening


Adira
Kenapa?


Arga
Ilalang bisa hidup dan tumbuh bebas. Sementara manusia? Harus pandai-pandai menjadi pesolek supaya bisa diterima orang, lalu lupa tentang siapa dirinya sendiri. Kenapa kita tidak bisa jadi seperti ilalang? Menjadi diri kita sendiri, membangun kesiapaan kita sendiri, meski orang tidak pernah berpikir untuk bisa mencintai tampilan kita.
Kenapa kita harus selalu dipandang baik, secara picik, oleh manusia lainnya?

Saya beneran iri sama ilalang. Nah, perkara iri-nya itu mudah banget. Menjadi-nya? Sulit, sulit banget.
Mungkin lebih tepat kalau saya bilang bahwa saya iri pada mereka yang berhasil tumbuh menjadi ilalang.
Berbahagialah mereka yang bisa berani untuk berdiri jadi diri sendiri di antara stigma hitam dan putih.
Menjadi dirinya sendiri. (Meski artinya hidup sendiri)