Lacur

6/02/2011 03:12:00 PM

Ada pertanyaan tentang Tuhan. Namun ia jengah memilih kata tanya untuk memulai: apa atau siapa?

Jika Tuhan adalah apa, mengapa Ia kita panggil Bapa? Karena Bapaknya, meski pulang selalu dalam mabuk sehabis menjaja kelamin dengan banyak perempuan asing, tidak pernah tega ia sebut 'Apa'.
Jika Tuhan adalah siapa, mengapa Ia hanya menjadi wujud tikai-tikai yang berawal dari syahadat para pengejar surga namun lalu hanya bisa menonton dalam diam? Karena dalam serapah semacam "Bangsat!" yang juga sama-sama memulai kelahi, si empunya makna masih kasat pada mata, masih bisa dicengkeram dalam jari, dan masih bisa melawan menghentak-hentak diri.

Ini cangkir kopinya yang ketiga. Kafein menjadi raja sepanjang hitam malam yang pekatnya nyaris-nyaris bisa ia genggam. Ia tidak peduli dengan otot dalam kepalanya yang berkedutan, dirinya ngotot merangsek masuk lebih dalam ke nikmat pikiran.

"Halo, Tuhan. Apa kabar?" Ia berucap sembari mengisap tembakau. Puntung rokok bergoyangan di antara bibir dimana doa-doa pernah berluncuran dalam kepolosan.
Ia menahan asap di dalam mulut, membangun kesunyian yang ganjil, takut-takut ada bising yang menutupi jawaban dengan volume paling minim. Satu, dua, tiga, empat detik kemudian asap membumbung bersama jengah. Hanya ada hening yang panjang. Tuhan tidak menjawab.
Ia tertawa dengan miris, mengisap dalam-dalam rokoknya yang ketiga. Ujungnya menyala kemerahan di tengah temaram ruang yang memandang dalam muram lewat empat sisi tembok yang berhadapan.
"Apa kabar, Tuhan?" ulangnya, "Kudengar Engkau geram?"

Tangan kanannya kaku di ujung meja kayu dengan telunjuk dan jari tengah mengapit rokok yang hampir habis. Matanya memerah, memandang kosong pada serat-serat meja yang nampak mengalihkan pandangan. Tikus bercicitan di dekat pipa, ia tidak menoleh. Tetap tidak ada jawaban. Sisa tiga bangku kosong di sekeliling meja tidak bisa menanggap, hanya bisa menatap dalam diam tubuhnya yang telanjang.

Tidak ada helai kain. Tidak ada kasut selubung. Ia benar-benar telanjang. Secara harafiah. Setiap malam ia menikmati ketelanjangan. Karena di dalam ketelanjangan, ia menemukan kehidupan. Di dalam ketelanjangan, ia menjadi manusia. Karena bukan tenun dan sutra yang membedakan manusia dengan kera, dan juga bukan rapatnya kancing-kancing yang membedakan manusia dengan anjing. Fakta yang dilupa manusia. Ia kasihan.

Manusia harus belajar untuk berani telanjang, pikirnya. Agar tidak selamanya kita bersandar hanya pada apa yang kasat mata dan sementara.

Pada awalnya ia telanjang lewat tulisan, lewat kata-kata yang menjelmakan pikirannya yang liar. Ia bercerita tentang paradoks-paradoks dan ironi sepanjang percakapan alter-alter egonya. Ia berkelakar tentang dunia dan tentunya, manusia. Ia menertawai para penggagas keadilan yang membusuk di balik topengnya. Ia menikmati simbah sanksi sebagai hasil dirinya selama mencari. Ia tenggelam dalam nikmatnya tulisan sebagai ekspresi diri yang tersingkir. Ia menelanjangi manusia lewat cemeti aksara. Satu tahun, dua tahun, ia bahagia karenanya. Di awal tahun ketiga ia bosan.
Semakin lama semakin tulisan dan kata-katanya bukan menjadi pengalih perhatian atas kekecewaan, tapi lebih sebagai senjata makan tuan. Kata-kata dalam tulisannya menelanjangi dirinya sendiri. Para pembaca memegang kokoh pedang untuk diusung. Ia nyaris kehilangan akal.

Namun akhirnya, ia beralih pada lukisan. Tidak hanya satu, atau sepuluh, namun nyaris tiga puluh ia mabuk dalam goresan-goresan kuas yang membawanya lari dari kekecewaan. Nyawanya ada pada cat minyak yang mengisi kanvas kosong. Warna-warna bertubrukan. Ketika sampai pada inginnya mengejar angka seribu, ia berhenti, sewaktu beberapa orang mulai curiga dan bertanya, "Apakah lukisan ini tentang kamu?"
Ia lupa bahwa lukisan juga adalah bahasa yang masih bisa manusia lain jamah.


Ia tersendat oleh rasa takut. Gelisah bahwa sindiran yang dibawanya akan langsung membawanya pada penikmat karya yang menduga ini itu, padahal memang manusia tidak bisa selamanya lari dari kenyataan, bukan? 


Ia tetap ingin agar manusia bisa belajar menyenangi dirinya sendiri. Cara paling cepat, ia percaya, masih dengan berani telanjang, belajar memahami harta benda fisiknya yang paling hakiki.
Ia menyusun adegan-adegan di dalam kepala, namun berakhir dengan lembaran naskah teatrikal yang tersembunyi di balik bantalnya yang apek. Tidak mungkin ia mengajarkan tentang ketelanjangan di hadapan orang-orang asing, Bisa-bisa ia disangka gila.

Tapi berani telanjang tidak melulu berarti gila, sangkalnya pada diri sendiri. Telanjang namun tidak sadar itu baru sakit jiwa, lanjutnya, mau telanjang di dalam kesadaran baru itu kehendak bebas manusia. Dan kehendak bebas manusia hanya bisa dibangkitkan dari individunya sendiri. Maka, ia pikir, sebaiknya ia mulai dengan melucuti pakaiannya sendiri. Untuk apa? Untuk tidak berpura-pura dari jiwanya sendiri, karena lewat tulisan dan lukisan ia memang membagi pikirannya yang penuh tanya dan kecewa, tapi apa yang masyarakat lihat adalah ia yang lain. Ia tidak ingin menjadi jalang dengan terus-terusan memakai topeng kesucian, yang dipasang masyarakat di hadapan mata mereka masing-masing.

Tiga tahun ia menghabiskan malam-malamnya dengan cara seperti ini: bergerumul dengan pikiran, tanpa pakaian, hanya akal yang bersahut-sahutan, dengan lintingan tembakau sebagai teman. Asap mengisi sumpeknya dapur, namun kepalanya akan terbang ringan. Ia bercerita sendiri pada gelas-gelas kosong dan piring kotor di bak cucian, sambil sesekali matanya dipejamkan.

Suara knalpot dari luar mendadak memecah keheningan. Ia membelalak, melirik pada jam yang tergantung di atas rak piring. Empat lewat sepuluh. Pada kantuk ia tidak pernah hirau.
Kotak rokoknya sudah kosong, pikirannya masih tetap tak tentu arah. Ketika jarum panjang bergeser ke angka tiga, ia beranjak kembali ke kamarnya, sebelum penghuni rumah yang lain mendapati ia bugil di ruang dapur.
Suara-suara mulai hingar dari balik pintu yang baru ia kunci. Ponsel tipe lawasnya bergetar menampilkan pesan, ia baca sambil tersenyum dan bergeleng-geleng, lalu meninggalkannya di atas kasur. Sementara ia selesai berpakaian, mendudukkan diri di meja kerja: mengambil agenda lalu menulis cepat-cepat.

Semakin panjang ia menulis di agendanya, semakin ia tertawa. Ia menertawai dirinya sendiri, juga ketelanjangannya yang adalah sia-sia. Pagi itu, baru ia sadar, bahwa ia telah berlebih meledek jaman seolah ia bukan bagian darinya.*)

"Aku ini semacam lacur," katanya pada alfabet-alfabet yang mulai mengisi halaman kedua, "Berdempul kosmetika supaya indah di luar, menjaja diri dengan murah sehingga para munafik yang membuang muka berpikir bahwa mereka adalah mulia.
Tapi apakah aku memang semacam lacur? Lacur telanjang lalu dibayar. Aku telanjang bukan karena apa-apa, hanya sekedar mencari makna.
Ah, mungkin saja aku benar adalah lacur, yang tetap tidak bisa dielakkan bahwa indah apa yang bisa dilihat oleh mata, tapi tangisan hanya jujur jika dilihat di lubuk hati.
Biar saja, menjadi diri sendiri tidak bisa dikejar dengan gusar. Manusia harus bisa belajar. Ya, belajar menelanjangi dirinya sendiri, supaya bukan pada label-label masyarakat ia bersandar."

Ia berhenti, lalu mengetuk-ngetukkan pena. Aku ini pelacur kata, ujarnya lagi, yang menyarukan doa dan dosa lewat kata dan nyanyian, sembari merobek kertas di agendanya yang sudah penuh dengan kata-kata. Ia melempar agenda dan pena, lalu beranjak ke kasur. Ia mengambil ponselnya, lalu kembali tidur, mencari arti tentang dirinya sendiri dan Yang Maha Tinggi yang telah lari dan tidak akan pernah kembali.

Sebuah SMS baru saja masuk ke folder tempat sampahnya:
"Frater, selamat atas kelulusan S1 Filsafat-nya. Pagi ini jangan lupa ya, kata sambutan untuk Seminar 'Arti Tuhan Bagimu'. Jam 8 saya tunggu di Hall. Salam."




*) Dikutip dari tweet asli "Ledeklah zaman seolah engkau di luar darinya" akun twitter @Fairthee

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe