Sisa-sisa Admirasi atau Sebutlah Adiksi
5/17/2011 06:30:00 AMBicara denganmu
seratus lima puluh menit
tiga puluh menghirup asap rokokmu
sisanya berbicara tentang kesatuan pikiran
juga tentang masa lalumu (tak terduga)
tapi tetap yang menarik adalah perihal manusia
bau rokokmu bersisa di mantelku.
seratus lima puluh menit
berbicara sudah bukan dalam keheningan dalam
mata
senyum
dan lambai yang berbalasan
seperti caturwulan kita tak bertemu
(aku menunggu (ternyata) dalam rindu)
Seratus lima puluh menit
kita berbicara
bukan seperti hari kedua kita (lagi lagi) bertatapan mata:
diam. kupikir kamu lupa.
tapi ternyata
kamu mengulur tangan dan berseru ‘hai! apa kabar?’
(menjadikan yang lainnya adalah asing)
bau rokokmu bersisa di kepalaku
seratus lima puluh menit
aku bertanya
kamu bercerita
aku menjawab
kamu bernalar
aku tenggelam
hatimu entah bagaimana?
sama-sama kita berkata “tidak apa-apa” sambil sama-sama kita main terka-terka.
aku tertawa saja.
membagi buah berontak dalam pikiran
yang menjadi kita ada dalam kesamaan
(tapi jarak tak terhindarkan)
seratus lima puluh menit
membiarkan subyektivitasmu memanjai
lewat pekat kopi dan teh
atau banyaknya celoteh
lewat langkah-langkah gesa
dan segala-galanya.
tetap aku adalah aku dan kamu adalah kamu
lalu tiba tiba
kamu sebut “kita”
Lalu kupu-kupu terbang menganggu
bersama bau rokokmu yang enggan berlalu
(astaga)
kukatakan manusia jatuh cinta pada pikiran.
(akalmu di dalam kepalaku berlarian)
Menit berakhir. (semoga bukan yang terakhir)
dan bau rokokmu bersisa di kulitku
lalu melupakan ‘yang seharusnya’ dan ‘biasanya’,
kuhirup saja dalam-dalam
sisa eksistensimu yang masih bisa dikecap indraku cuma itu.
kamu
candu.
tidak lelah setahun berlarian di kepalaku?
“kalau ada waktu…”
kujawab “iya” buru-buru.
Apa maumu mana kutahu?
Adiksimu, itu yang aku tahu.
0 comments