5/14/2011 10:28:00 AM
Jadi, ceritanya, saya mengutip perkataan Kak Fer yang beliau gunakan di konteks 'pembelaan hasil karya visual terhadap klien yang bukan berlatar belakang desain':
"Sulit? Memang, tapi bukan berarti tidak mungkin tidak ada perubahan sama sekali."
Saya kutip waktu lagi ngobrol sama Monic tentang ketidaknyamanan dalam mengerjakan hal yang saya sendiri enggak nangkep-nangkep maknanya, cuma dapet keselnya aja karena memang enggak mau.
Saya bilang, "Iya sulit, sih Mon, tapi bukan berarti tidak mungkin tidak ada perubahan. Sulit begini bukan enggak bisa gue selesaiin, kan?" (maksudnya saya lagi menyemangati diri sendiri).
Terus Monic bilang, "Ya bukan berarti selalu yang sulit itu harus dilakukan, kan?"
Dan memang iya.
Sekarang orang malah jadi ngawur mengartikan 'No pain, no gain'. Disangkanya, setiap ada 'pain' pasti ada 'gain'. Tapi enggak melulu dengan berluka-luka, gain yang didapet cuma hasilnya fair dan reasonable. Malah kadang malah jadi oon sendiri, nyari-nyari pain karena dikira sudah pasti ada gain-nya.
Terus, jadi inget juga waktu itu Kak Fer pernah bilang (sebenarnya berkaitan dengan desain sih, tapi nyambung-nyambung aja waktu diaplikasiin ke konteks kehidupan sehari-hari):
"Ya kalau udah enggak ada maknanya, buat apa? Kalau udah enggak ada maknanya saya tinggalin aja."
Dalem hati sih saya ngejawabin, "Ya enak kalau bisa main ninggalin aja. Tapi tanggung jawab gimana?"
Tapi lama-lama jadi mikir juga, Tanggung jawab apaan? Tanggung jawab moral? Terhadap apa dan siapa dan bagaimana? Memang benar itu yang dikejar? Atau kita memang sedang malayani diri kita sendiri masing-masing?
Terus sempet saya tanyain sih, kalau pas di tengah-tengah jalan tahu-tahu maknanya lenyap, gimana?
Katanya, "Ekspektasi. Jangan terlalu banyak berekspektasi. Ya kalau enggak ada ruang kosong gimana mau diisi?" Kalau di pikiran penuh sama ekspekstasi, gimana realita mau mengisi, ya kan?
Tapi enggak ada salahnya ber-idea. Bukan bermaksud idealis (atau dalam pengertiannya Kak Fer: menganggap idea, atau apa yang ada di pikiran kamu tentang bagaimana seharusnya realita itu, kamu anggap lebih real, lebih nyata daripada apa yang bisa dilihat indera), tapi entah kenapa, selalu saja berbenturan dengan apa yang ingin saya capai (sebagai minoritas) dengan apa yang mereka akhirnya lakukan (mayoritas).
Eh tapi katanya enggak salah juga idealis. Kenapa? "Karena setiap orang harus punya orientasi."
Terus kalau masing-masing orang punya orientasi gimana dong? Saling berbenturan semua? Ya enggak juga. Kata Ibu Rina di kelas Character Building kemarin, kita harus bisa mengoreksi diri kita sendiri, jangan melulu melihat orang lain. Kebahagiaan kan datangnya dari diri sendiri, tapi kalau ternyata enggak bisa bahagia sama diri sendiri, gimana mau bahagia berada di antara orang lain?
Saya masih bertanya-tanya apakah saya bahagia dengan diri saya sendiri. Masalahnya, saya bahagia-bahagia aja dengan diri sendiri, tapi lebih bahagia kalau eksistensi saya sebagai diri bisa membawa makna bagi banyak orang yang membutuhkan (bukan lagi sok altruis, tapi memang begitu cita-cita saya dari dulu). Tapi makna yang seperti apa dulu? Buat apa saya bermakna bagi orang lain, tapi dalam hati saya ada lubang makna besar yang hanya membawa ketidaknyaman dan kegelisahan? (tapi omong-omong soal gelisah bisa jadi konteks lain sih, karena memang gelisah/angst somehow seems like the nature of men)
Dan tiba juga momen Ibu Rina ngomongin tentang kenyamanan dan ketidaknyamanan terhadap orang lain. Kebetulan temen sekelas ada yang nanya, "Kalau dalam persahabatan, kita sudah berusaha untuk kasih yang terbaik untuk orang lain, mengubah diri sendiri (menyesuaikan diri), tapi suasana enggak kunjung berubah juga?"
Ibu Rina jawab, dengan super nancep, "Yasudah enggak usah dipaksain."
"Maksudnya enggak usah ditemenin lagi, gitu, Bu?"
"Ya kamu punya kebebasan memilih, kan?"
Kebebasan memilih.
Ibu Rina bilang, kita bisa dibilang benar-benar mencintai orang lain ketika kita bisa membiarkan dia pergi, dalam artian menghargai kebebasannya sendiri. Menghargai kebebasan.
Dan saya punya mind set, orang yang bisa menghargai kehendak bebas orang lain adalah manusia yang memang memahami kemanusiaannya sendiri, sebagaimana kebebasan adalah hakikat dasar manusia. Menghargai kebebasan adalah menghargai manusia seutuhnya.
Dan kalau saya sendiri enggak bisa menghargai hakikat dasar saya sendiri, yakni kebebasan, bagaimana saya mau berharap orang lain menghargai ke-manusia-an saya. kan?
Saya berhak memilih. Saya berhak bertanggungjawab atas pilihan saya. Rasa nyaman itu kan enggak bisa dipaksain, toh?
Mengutip kata Kak Fer lagi, "Lalu apa yang harus kamu lakukan? Lakukan saja apa yang kamu percayai."
Mau nangis guling-guling aja rasanya. Lucu juga ngelihat orang marah dan mencak-mencak sambil bilang "Gue kecewa sama lo!" padahal saya sendiri yang lebih dahulu kecewa. Mungkin salah saya aja kali ya karena enggak ngomong duluan. Ya tapi would it be that necessary untuk sekedar bilang "Saya kecewa" duluan?
Siapa yang lebih dulu enggak selalu yang menang / benar.
Ah, apalah 'benar' jika tidak 'baik'. Apalah 'baik' jika tidak 'benar'. Lagi mau ngomongin pluralisme tapi disangkut pautinnya sama "kebenaran" sih, padahal pluralisme enggak bicara soal kebenaran. Ribet memang kalau ngomongin agama, terutama ngomongin manusianya. No wonder di Angels and Demons (2009) ada line, "Religion is flawed because man is flawed."
"This world is beautiful, but has disease called men." - Friedrich Nietzsche
"This world is beautiful, but has disease called men." - Friedrich Nietzsche
1 comments
blog minimalis namun penuh sentuhan karya tulis yang menarik dan inspiratif.
ReplyDeletei-tasik