Spesies Congkak

4/28/2011 07:17:00 PM


"Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata."
(Soe Hok Gie, dalam Catatan Seorang Demonstran, 2005)

Dan tangisan karena amarah, menurut saya, adalah yang terparah. Berani berkata demikian karena siang kemarin baru saja  menangis di dalam kopaja yang melaju ke arah Kalideres, dihujami amarah luar biasa.

*
Dua malam yang lalu, di tengah kegelisahan di bawah tuntutan belajar dan menyelesaikan sebuah video untuk pre-kongres, saya tergoda untuk membuka Twitter dan sesekali mengecek Facebook saya (penyakit!). Dan membaca lini kala Twitter seperti sedang membaca pikiran-pikiran spesies congkak, dengan saya salah satunya. Bagaimana tidak?

Malam itu, saya dan teman-teman berkutat dengan materi ujian Pembangunan Karakter II - Relasi Dengan Sesama untuk keesokan paginya (iya, pagi, dan saya terlambat 30menit!), yang sudah pasti isinya adalah teori-teori penjabaran yang sekilas akan nampak membosankan, as how we thought PPKn was. Bisa ditebak sendiri, seperti apa kicau-kicau yang bermunculan di timeline; sebagian besar, hampir seluruhnya malah, mengeluh karena tidak suka.

Ini yang bikin saya, hmm... (maaf) kecewa.
Bukan karena saya mengedepankan sisi subyektivitas (ketertarikan saya pada humaniora), tapi pernah sempatkah berpikir, jika memang mata kuliah "berisi teori-teori percuma" ( << ini bahasa mereka) benar-benar sepercuma yang mereka asumsikan, sudah pasti universitas saya sudah menghapuskannya dari awal mata kuliah ini direncanakan untuk diterapkan: akan ada lebih banyak shift lowong untuk mata kuliah lain sesuai jurusannya, tidak perlu repot mencari dosen yang legible untuk mengampu, dan juga tidak perlu mengeluarkan gaji dosen untuk mata kuliah tersebut.
Memang sks nya hanya 2, dan dari mata kuliah yang ber-sks hanya 2 itulah, kita diingatkan kembali akan nilai-nilai ideal yang memang seharusnya dicapai, yang memang dicita-citakan oleh para bapak bangsa.

Tidak bisa saya pungkiri bahwa selagi membaca materi-materi, terutama ketika masuk ke bab Bangsa dan Negara, saya seolah sedang membaca sebuah konsep rancangan untuk diterapkan pada satu negara baru (negara bayi); karena selagi membaca, di pikiran saya terbentang gambaran Indonesia sebagai negara yang serba linglung harus bagaimana dan menuju kemana. Pokoknya, penjelasan mengenai tujuan dan tanggung jawab negara, kesadaran kebangsaan, unsur-unsur negara hukum dan tanggung jawabnya, dan lainnya tidak sama sekali tercermin di kondisi Indonesia sekarang. Saya malah tidak bisa fokus karena dihujani tanda tanya - tanda tanya yang mempertanyakan materi-materi yang ada.
Pertanyaan saya hanya satu: entah materinya yang memang utopis (sudah kelewatan idealisnya) atau memang manusia-nya yang kelewat apatis? Tapi saya rasa, jawabannya ada di opsi kedua.

Kicau-kicau di Twitter yang menjawab:
"Ini terlalu banyak teori."
"Gue benci teori."
"Ah, kita dulu anak IPA, ngapain sekarang belajar beginian."
"Ngapain anak DKV belajar beginian? Memangnya kita anak Sosiologi?"
"Teori begini mah percuma, enggak sesuai dengan keadaan sekarang."

Pertanyaannya sekarang?
Sudah menghormati orang yang lebih tua: dosen, misalnya? Dengan tidak memberi sindiran atau mengumpat di belakangnya?
Sudah menghargai orang lain dengan harkat dan martabat yang sama tanpa terpengaruh oleh stereotypes?
Sudah mencintai perbedaan dengan tidak memandang orang dengan label agama, ras, suku, dan status sosial?
Sudah memiliki rasa tanggung jawab terhadap manusia lain dengan menyayangi tempat tinggal kita bersama, bumi?
Sudah pernah memikirkan, apa yang akan kamu lakukan untuk memperbaiki Indonesia?
Kalau jawabannya adalah tidak, belum, dan enggak mau bahkan enggak peduli, ya mau bilang tidak butuh mata kuliah semacam itu? Bertingkah sesuai pemahamannya sendiri yang katanya adalah common sense. Common sense juga tidak melulu tidak diikuti norma dan nilai!

Semua orang menganggap enteng teori, lalu bertingkah sesuai dengan keinginannya masing-masing sambil meyakini bahwa merekalah yang selalu paling benar.
Dengan demikian, jangan pernah menyalahkan siapa-siapa kalau Indonesia tidak kunjung membaik kondisinya! Berkaca saja sendiri, tidak perlu jadi congkak dengan berkata bahwa tanpa teori-teori itu kita sudah  bisa bertingkah baik dan benar.

Kemudian, tanda tanya yang menggantung di kepala saya berlanjut sampai di angkot menuju Slipi. Seorang mahasiswa angkatan saya dari jurusan lain membicarakan UTS character building dengan penuh kebencian (dan tetap, kecongkakan): "Gue paling benci deh teori, mending praktek aja langsung!"
Laaah, ini yang lebih aneh lagi. Kalau enggak ada teori yang mendasari, lalu prakteknya mau berangkat dari mana? Seperti pilot tanpa teori, langsung saja dimasukkan ke pesawat untuk bawa terbang penumpang tanpa ada teori-teori prosedur penerbangan, pendaratan, penyelamatan.
Mungkin memang ini epidemik masyarakat sekarang. (termasuk saya juga). Kita sama-sama terburu-buru ingin praktek, namun kemudian berpraktek berdasarkan kaidah yang kita susun dan asumsikan sendiri. Mungkin karena memang kondisi jaman sekarang yang bikin kita seperti itu ya? Misalnya, kita jengah dengan pemerintah yang tidak kunjung memperbaiki masalah pendidikan, maka kita berinisiatif untuk mendirikan rumah singgah untuk anak jalanan yang tidak punya biaya. Inisiatif memang bagus, tapi tidak selalu apa yang kita pikirkan  "berbeda" dari yang lain sesuai dengan apa yang kita tuju bersama.

Kalau kata dosen sejarah dkv saya dulu,
"Di flower generation tahun 60-an, mereka protes karena tahu apa yang diprotesi, mereka berontak karena tahu apa yang diberontaki. Anak muda jaman sekarang protes ya protes aja, berontak ya berontak aja; rebel tanpa ada tujuannya."

*
Tapi kalau mau dibilang, saya pun agak kesal selepas UTS CB saya kemarin. Terlepas dari faktor kehadiran saya yang terlambat, tapi soalnya yang terlalu banyak untuk dikerjakan selama 75menit, dengan menulis manual (bukan ketik). Seluruh soalnya essay, seluruhnya bisa dijawab sesuai teori yang dipahami dan telah dipelajari, namun semua soalnya tidak bisa dijawab selengkap yang diharapkan untuk mengefisiensi waktu.
Lalu saya protes sendiri: memang untuk apa sih soalnya sebanyak itu, lalu dinilai "benar" atau "salah" sesuai teori? Apakah memang akan efektif agar mahasiswa merasa memiliki kesadaran untuk mengejar nilai-nilai tersebut? Saya mumet sendiri sepanjang perjalanan pulang, bahkan sampai ketika kopaja saya mencapai Pesing.

Kopaja yang saya naiki, seperti biasa, berhenti di Pesing dekat bengkel karena bersebarangan dengan sebuah sekolah menengah. Banyak anak-anak SMP yang kayaknya sih baru bubaran sekolah (dan baru saya sadar, bahwa mereka baru selesai ujian nasional).
Di balik jendela tepat di samping saya, seorang siswi berpakaian SMP tiba-tiba menangis sambil memegangi pipi. Seorang siswa berjalan meninggalkan dia. Kenek kopaja saya bilang "Hey, anak orang jangan digituin itu. Kasian."
Saya pikir, si cewek baru diputusin si cowok yang bertampang marah, sampai tiba-tiba si kenek kopaja (yang masih berhenti) berseru lagi, "Hey, anak orang ini kasian jangan dipukulin."
Saya kaget.
Waktu saya melongok ke luar jendela, si cewek mau menaiki tangga kopaja untuk menghindari si cowok yang tiba-tiba mendekat.
Saya tersentak ketika si cowok dengan kasar menarik si cewek supaya tidak naik ke atas kopaja.
Kopaja saya masih berhenti. Saya, supir kopaja, seorang penumpang lain, dan kenek kopaja mematung memandangi si cewek yang diseret-seret si cowok.
Kenek kopaja teriak-teriak supaya si cowok berhenti. Tidak berpengaruh apa-apa. Si cewek masih diseret-seret, meski ia berusaha berjalan ke arah Kopaja saya. Ia menangis sesegukan.
Teman-teman yang lain juga mematung, menonton, sebagaimana yang dilakukan seorang bapak di atas motornya, dan tukang bengkel di kiosnya. Semua hanya menonton.

Bayangkan diri anda sedang duduk di kopaja sebagaimana yang telah anda lalui dua tahun belakangan sampaai tiba-tiba perhatian semua orang yang sama-sama asingnya dengan anda, teralihkan pada dua orang murid SMP yang satu menunjukkan superioritas terhadap satunya, dengan sikap kekerasan terhadap perempuan. Bayangkan diri anda bukan seorang feminis, tapi sadar bahwa anda adalah bagian dari masyarakat, sebagai bagian dari spesies yang sama: manusia. Si perempuan, yang usianya pasti tidak lebih dari 15 tahun, dipukuli, ditampar, diseret, dikasari di jalanan, di hadapan banyak orang. Anda dikelilingi oleh pria-pria yang pasti bertenaga besar untuk melawan, tapi hanya mau menatap. Dan posisikan diri Anda, baru saja diuji kemampuan relasinya dengan sesama dengan UTS character building yang menyebalkan hati Anda karena bertanya-tanya, jika memang efektif pengaplikasiannya.
Dan bayangkan diri Anda adalah saya. Saya marah. Saya bangkit dari bangku saya, sementara si supir bersiap mengemudikan lagi kopajanya, saya berteriak ke kenek kopaja, "ABANG TOLONGIN BANG! TOLONGIN!" sembari  berteriak supaya orang-orang banyak lain menolong si perempuan yang masih diseret-seret ke dalam gang dengan siswa-siswa berbaju SMP lainnya di ujung gang.

Bayangkan diri Anda adalah saya, seorang perempuan, memohon pada tukang ojek, pada bapak-bapak yang duduk di atas motor, pada siswa-siswa SMP lain, pada orang-orang di bengkel untuk menolong si cewek; tapi tidak ada yang bergerak dari tempatnya masing-masing.
Bayangkan diri Anda adalah saya, marah dan ingin turun, tapi si cowok mengacung-acungkan tinjunya di udara ke arah saya, "Turun lu sini kalo berani!"
Bayangkan diri Anda adalah saya, Anda semakin parah berteriak supaya pria-pria di sekitar menolong Anda, karena rasa takut dipukuli membuat Anda tidak bisa apa-apa di pintu kopaja. Kemudian orang yang Anda mintai tolong hanya berkata, "Itu urusan pribadi mereka." Kemudian Anda berteriak, "Ya urusan pribadi ya pribadi, gak usah mukulin orang di jalanan! Tolongin! Cowok bukan sih!" Anda marah pada bapak-bapak yang masih di atas motor.
Kemudian supir kopaja mengemudikan lagi bisnya, dengan Anda masih di pintu, meninggalkan orang-orang itu: generasi-generasi bangsa yang hanya diam menonton, dan meninggalkan si perempuan yang masih menangis-nangis setelah diseret dan karena kopaja berjalan, Anda tidak tahu nasib si perempuan. Anda masih di pinggir pintu, orang-orang hanya memandangi Anda.
Anda marah.
dan entahlah jika Anda adalah saya. Saya menangis di Kopaja. Bukan karena kasihan, seperti ketika meonton film-film yang menyentuh hati,  tapi marah karena orang-orang tidak ada yang peduli, tapi karena marah karena orang-orang meneriakkan "Itu urusan pribadi" tapi menjual privasinya di situs jejaring sosial, tapi karena marah karena orang-orang itu protes pada pemerintah yang tidak peduli, tapi untuk tanggung jawab moral seperti itu saja mereka hanya menonton dan berkata "Kasian", dan karena marah, karena apa yang saya uraikan di ujian character building saya hanya menjadi kata-kata sampah. Hanya sampah.

*

Sekarang saya paham kenapa orang-orang benci dijejali teori tentang kemasyarakatan. Sebagian memang karena benar-benar congkak dengan menganggap tanpa teori dirinya sudah mampu berpraktek dengan baik di masyarakat, sebagian lagi karena terlalu naif dan menganggap teori ketika diaplikasikan ke dalam prakter pun akan besar anomalinya, dan sebagian lagi saya yakini hanya karena mereka terlalu lelah untuk mengejar nilai-nilai tersebut; karena untuk menjadi idealis di kala arus utama adalah kebobrokan, karena kemarin pun saya hanya menangis di atas kopaja.
Tapi, harus diingat apa kata Malcolm Muggeridge, "Only dead fish swim with the stream."
Dan Soe Hok Gie, dengan berangkat dari idealismenya yang tinggi mengungkap, "Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan."
Memang sulit, tapi seperti apa yang dosen saya pernah sampaikan, "Sulit? Memang, tapi bukan berarti tidak mungkin tidak ada perubahan sama sekali."

*

Tidak ada yang bisa salahkan. Lagipula, bagaimana lagi kita sekarang melihat "salah" dan "benar"? Kita sedang hidup dalam jaman, dimana segalanya sudah bukan lagi ambigu, namun telah terambivalensi. Yang satu mempenetrasi yang lain, yang lain mengkontaminasi yang lainnya lagi. Betapa mengerikan untuk menyadari bahwa kita hidup dalam bimbang.

Saya jadi ingat sebuah paragraf di buku yang sedang saya baca sekarang:
"In the case of people, since we cannot solve the equations that determine our behavior,we use the effective theory that people have free will."
(The Grand Design by Stephen Hawking & Leonard Mlodinow, Bantam, 2010, p.32-33)

Tidak ada bentuk persamaan yang bisa mencakup seluruh tingkah laku kita sebagai manusia, pun saya percaya tidak ada nilai absolut yang bisa diterapkan untuk semua orang maupun dicapai setiap orang. Bahkan untuk menjadi seorang idealis pun, kadang hanya berbeda sedikit dari menjadi keras kepala yang menjurus pada banality.

*

Apa yang terjadi kemarin: baik kekecewaan pada teman-teman yang mengeluh tanpa ada prakteknya, ujian yang terkesan hanya sebatas formalitas dengan efektivitas yang dipertanyakan, kemarahan pada orang yang tidak peduli dan terjebak dalam 'privasi', membuat saya banyak belajar.

Teman saya pernah bilang, takut itu jangan sama hantu, tapi sama manusia karena tanpa prediksi, mereka bisa  menyakiti, melukai, bahkan membunuh kita. Dan terbuktilah omongan teman saya itu. Bahkan manusia, hanya dengan melihat saja bisa melukai seseorang kan? (si cewek yang dipukuli di jalan itu contohnya).
Namun, rasa takut terhadap manusia jangan sampai dipupuki terus. Rasa takut itu ada untuk membantu kita mengevaluasi perbuatan. Takut boleh, tapi jangan gentar. Rasa takut itu ada untuk dihadapi.
Kemarahan karena ketidakmanusiawian itulah yang menurut saya, bisa mengalahkan rasa takut.
Saya enggan mengalah pada kekesalan dengan menangis di bis.
Saya memilih untuk turun, menyeberang. Naik bis ke arah berlawanan.


Semoga saja, pihak SMP dimana murid itu bersekolah (tidak akan saya sebutkan namanya), mampu bertanggung jawab juga, jangan sebatas tahu nama muridnya saja lalu tertawa dan pasang muka muram. Seorang guru di SMP itu, ketika saya datangi kemarin, bilang bahwa si cowok ini, Ari, memang pernah dengan sengaja menabrakkan motornya ke si cewek (Dewi, namanya).
Kemarin sih saya pengin banget bilang ke wakil kepala sekolahnya supaya si Ari tidak diluluskan saja sekalian. Kasihan? Untuk apa?
Toh tujuan dari ujian nasional adalah mengevaluasi apakah muridnya berhak menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan proses penempuhan pendidikan itu kan dimaksudkan untuk membentuk pribadi dan kualitas seseorang agar selain bisa menjadi lebih baik, bisa berguna juga memberi arti untuk masyarakat.
Kalau pihak sekolah dan orang tuanya gagal untuk mencapai hal itu dengan membiarkan si Ari tidak jera karena mengkasari kawan sekolah (sekaligus pacarnya!) ya buat apa? Biar saja dia ditempa dulu di levelnya saat itu, biar dia benar-benar siap menuju level yang lebih tinggi dengan tanggung jawab yang lebih tinggi di masyarakat.

*

Saya... hanya tidak ingin menjadi congkak dalam idealisme,tapi saya tidak ingin menjadi congkak dalam apatisme.
Saya ingin hidup dalam kebebasan saya; dan kita tidak akan pernah siap dengan kebebasan jika kita tidak pernah siap dengan tanggung jawab.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe