4/26/2011 04:01:00 PM
Kurasa kamu tidak perlu pergi terlalu tinggi melampaui bola biru hingga ke bulan untuk menemukan Tuhan. Rendahkan saja sedikit kepalamu, dan melangkahlah pelan-pelan ketika kamu bangun pagi-pagi. Ada hari baru yang ditandai geliat matahari yang memberimu harapan; juga wajah-wajah yang dari getir dan getar ekspresinya, kamu akan dibawa pada cerita yang luar biasa. Kamu tidak perlu terbang terlalu tinggi. Bukankah sepi di atas sana?
Apa kamu ingat Hawking dan teman-teman Fisikawan-nya? Mereka, setelah puluhan tahun, berhasil sampai ke dasar: dari partikel menuju ke atom, dari atom ke nukleus, dari nukleus ke proton dan neutron, dari proton ke quark, dan dari quark sampai ke string energi. Tetap saja mereka tidak menemukan Tuhan. Tidak perlu sampai ke dasar untuk mencari Tuhan. Tengadahkan saja kepala ke langit, pada bentangan jagad raya yang infinitif. Pada kilau-kilau kecil yang menggoda itulah kita menyimpan tanya, tentang bagaimana segala sesuatu di mulai. Bukan dari ketiadaan, tapi dari yang Selalu Ada.
Begitu juga dengan Friedrich Nietzsche; yang berkutat pada pikirannya bahwa Tuhan itu mati. Menurutnya, bukan karena Tuhan pernah ada, tapi karena Tuhan adalah sebatas konsep manusia. Kemudian, setelah kontribusi besarnya pada filsafat, eksistensialisme kemudian menjadi nihilisme, ia mati karena insanity. Bukankah ironi hakikat manusia untuk terus berpikir itu?
Kurasa tidak perlu terlalu merumitkan perkara materiil dari Tuhan. Pun kamu berdoa pada energi besar yang mengatasi dunia, bukan? Meski kamu memaki-maki juga tidak ada yang secara nyata, tangan dari langit misalnya, yang kemudian marah lalu meninjumu. Tapi memang ada yang mendengar doamu.
Bukankah jauh lebih untuk menyadari bahwa ada yang mendengar doa kita namun menjawab "Tidak", daripada tidak ada yang mendengarkan kita sama sekali? Albert Lewis yang berujar demikian. Manis, bukan?
Begitu juga dengan Friedrich Nietzsche; yang berkutat pada pikirannya bahwa Tuhan itu mati. Menurutnya, bukan karena Tuhan pernah ada, tapi karena Tuhan adalah sebatas konsep manusia. Kemudian, setelah kontribusi besarnya pada filsafat, eksistensialisme kemudian menjadi nihilisme, ia mati karena insanity. Bukankah ironi hakikat manusia untuk terus berpikir itu?
Kurasa tidak perlu terlalu merumitkan perkara materiil dari Tuhan. Pun kamu berdoa pada energi besar yang mengatasi dunia, bukan? Meski kamu memaki-maki juga tidak ada yang secara nyata, tangan dari langit misalnya, yang kemudian marah lalu meninjumu. Tapi memang ada yang mendengar doamu.
Bukankah jauh lebih untuk menyadari bahwa ada yang mendengar doa kita namun menjawab "Tidak", daripada tidak ada yang mendengarkan kita sama sekali? Albert Lewis yang berujar demikian. Manis, bukan?
Karena aku sendiri pun juga tidak bisa menemukan Tuhan dalam hingar bingar.
Dalam kesederhanaan saja aku berhak mendapat jumpa. Tidakkah menurutmu, Tuhan itu menyenangkan?
Dalam kesederhanaan saja aku berhak mendapat jumpa. Tidakkah menurutmu, Tuhan itu menyenangkan?
0 comments