Seorang Teis dalam Kesekaratannya
4/22/2011 11:45:00 AM"Tuhan itu tidak ada."
Tawa hampa.
"Kenapa tertawa?"
"Kamu bodoh. Tuhan itu ada, dan perdebatan semacam ini yang mengisi kehidupan manusia sepanjang ribuan tahun."
"Jadi, kamu percaya bahwa Tuhan itu ada?"
"Tuhan itu ada, tapi bagiku Ia lebih suka bersembunyi di balik hal-hal sederhana dalam kehidupan, tapi begitu nyata dalam hal-hal buruk yang kualami setelah mengingkari ada-Nya. Aku memandang kamu, dalam ketidakpercayaanmu, tapi kamu hidup dalam baik-baik saja. Aku hidup dalam kepercayaanku, tapi sekali waktu kulalai mengikuti-Nya, aku terimbasi .. apa? Marah-Nya? Ia menjadi nyata di hadapan orang-orang yang mencari dalam irasionalitasnya, dan aku bertemu dengan-Nya sekedar di potongan film-film pendek yang menitikkan air mata, kemudian selesai. Katanya manusia hidup dalam hakikatnya untuk mencari kebenaran, tapi toh kemudian ditemukan Kebenaran itu, kita sama-sama maju saling hantam pembenaran kita masing-masing."
"..."
"Lagi, dalam kepercayaanku, kucoba temukan Tuhan dalam perayaan dan tradisi. Dulu Ia hadir di kandang domba, tapi dalam penjelmaannya sekarang dalam potongan-potongan hosti, Ia terkekang dalam wadah lapis emas berharga sekian juta. Aku tidak menemukan apa-apa, hanya meratap menyaksikan pengemis-pengemis di luar gereja yang tidak bisa mencari makan atau sekedar uang seribu rupiah.
Jadi kumemilih mundur ke pintu gerbang saja, merasa tak pantas berada di dalam dengan sangsi yang kubawa. Semakin parah aku kecewa, terpaksa mereka menghalau jalan, menjadikan istimewa mobil-mobil mewah yang beriringan keluar parkiran. Supir-supir angkot meratap di balik kemudi, kenapa imanku tak pernah membawa aku pada ketenangan, karena rengekan bayinya yang lapar mengaburkan percayanya akan harta surgawi yang (barangkali) akan diterimanya. Lalu..."
"Lalu kamu berjalan keluar, sambil membawa sangsi yang menyeretmu untuk tidak lagi kembali?"
"Ya dan tidak, tergantung pada bagaimana kamu mengartikan "berjalan keluar" dan "tidak lagi kembali". Aku berjalan keluar gereja, pada alam raya yang tangisannya (dipaksakan untuk) tidak kita dengar, pada manusia yang dalam keimanannya menganggap derita adalah istimewa dan tak berbuat apa-apa, dan pada hati nurani kita yang tetap terhauskan jelmaan rasionalitas."
"Dan mereka menganggapmu tak bertuhan?"
"Mereka menganggapku tak bertuhan."
Hening yang panjang.
"Tapi kamu tetap percaya ada Tuhan?"
"Aku percaya pada Tuhan, pada kekuatan dimana semesta bermula; yang bertahun-tahun menjadi lubang tanda tanya besar para fisikawan tentang kehampaan dimana semuanya harus bertubrukan.."
"Jika kamu percaya Tuhan ada saat permulaan, Hawking pun seorang Deis."
"Aku bukan Deis. Aku percaya ada Tuhan yang menjelma dalam alam raya yang menangis, pada manusia yang meratap, dan pada nurani kita masing-masing yang berbicara."
"Jika demikian, Tuhanmu adalah alam raya. Kudengar kau tadi sebut-sebut gereja, yang percaya Allah mengatasi segalanya."
"Pada Allah yang imanen, aku pun percaya pada Allah yang bertransendensi. Pada kemahaan-Nya yang seringkali membawa kita pada tanda tanya sekaligus kekaguman."
"Kamu hanya sedang menyusun konsepmu sendiri tentang tuhan."
Jeda panjang.
"Aku hanya kecewa pada agama, dengan manusia sebagai penyusun utamanya. Dan Tuhan.. seperti sebuah entitas yang berbeda. Itu yang kupercaya. Aku hanya tidak bisa menemukan Tuhan dalam hingar-bingar."
"Tapi menemukan Tuhan dalam kebencian orang-orangmu terhadap para ateis?"
"Aku tidak membencimu. Dari kemanusiaan dan altruisme serta segala moralmu, aku menemukan Tuhan."
"Sangat lucu mendengar seorang teis berkata demikian."
"Daripada kamu menyebut telah menemukan kebencian dari seorang teis. Masih lebih baik daripada mengejar Tuhan di serbuk-serbuk mesiu dan tembakan senapan."
"Bila demikian, biar imanmu menyelamatkanmu."
"Kuaminkan saja, meski aku bukan fideis."
"Lantas?"
"Hanya seorang teis yang sedang dalam kesekaratannya saja."
"..."
"Lagi, dalam kepercayaanku, kucoba temukan Tuhan dalam perayaan dan tradisi. Dulu Ia hadir di kandang domba, tapi dalam penjelmaannya sekarang dalam potongan-potongan hosti, Ia terkekang dalam wadah lapis emas berharga sekian juta. Aku tidak menemukan apa-apa, hanya meratap menyaksikan pengemis-pengemis di luar gereja yang tidak bisa mencari makan atau sekedar uang seribu rupiah.
Jadi kumemilih mundur ke pintu gerbang saja, merasa tak pantas berada di dalam dengan sangsi yang kubawa. Semakin parah aku kecewa, terpaksa mereka menghalau jalan, menjadikan istimewa mobil-mobil mewah yang beriringan keluar parkiran. Supir-supir angkot meratap di balik kemudi, kenapa imanku tak pernah membawa aku pada ketenangan, karena rengekan bayinya yang lapar mengaburkan percayanya akan harta surgawi yang (barangkali) akan diterimanya. Lalu..."
"Lalu kamu berjalan keluar, sambil membawa sangsi yang menyeretmu untuk tidak lagi kembali?"
"Ya dan tidak, tergantung pada bagaimana kamu mengartikan "berjalan keluar" dan "tidak lagi kembali". Aku berjalan keluar gereja, pada alam raya yang tangisannya (dipaksakan untuk) tidak kita dengar, pada manusia yang dalam keimanannya menganggap derita adalah istimewa dan tak berbuat apa-apa, dan pada hati nurani kita yang tetap terhauskan jelmaan rasionalitas."
"Dan mereka menganggapmu tak bertuhan?"
"Mereka menganggapku tak bertuhan."
Hening yang panjang.
"Tapi kamu tetap percaya ada Tuhan?"
"Aku percaya pada Tuhan, pada kekuatan dimana semesta bermula; yang bertahun-tahun menjadi lubang tanda tanya besar para fisikawan tentang kehampaan dimana semuanya harus bertubrukan.."
"Jika kamu percaya Tuhan ada saat permulaan, Hawking pun seorang Deis."
"Aku bukan Deis. Aku percaya ada Tuhan yang menjelma dalam alam raya yang menangis, pada manusia yang meratap, dan pada nurani kita masing-masing yang berbicara."
"Jika demikian, Tuhanmu adalah alam raya. Kudengar kau tadi sebut-sebut gereja, yang percaya Allah mengatasi segalanya."
"Pada Allah yang imanen, aku pun percaya pada Allah yang bertransendensi. Pada kemahaan-Nya yang seringkali membawa kita pada tanda tanya sekaligus kekaguman."
"Kamu hanya sedang menyusun konsepmu sendiri tentang tuhan."
Jeda panjang.
"Aku hanya kecewa pada agama, dengan manusia sebagai penyusun utamanya. Dan Tuhan.. seperti sebuah entitas yang berbeda. Itu yang kupercaya. Aku hanya tidak bisa menemukan Tuhan dalam hingar-bingar."
"Tapi menemukan Tuhan dalam kebencian orang-orangmu terhadap para ateis?"
"Aku tidak membencimu. Dari kemanusiaan dan altruisme serta segala moralmu, aku menemukan Tuhan."
"Sangat lucu mendengar seorang teis berkata demikian."
"Daripada kamu menyebut telah menemukan kebencian dari seorang teis. Masih lebih baik daripada mengejar Tuhan di serbuk-serbuk mesiu dan tembakan senapan."
"Bila demikian, biar imanmu menyelamatkanmu."
"Kuaminkan saja, meski aku bukan fideis."
"Lantas?"
"Hanya seorang teis yang sedang dalam kesekaratannya saja."
0 comments