Perjalanan Panjang
4/24/2011 05:07:00 PMBukan baru-baru ini saya tertarik dengan manusia dan kerumitannya. Bukan baru-baru ini saya tertarik pada semesta dan kejutan-kejutannya yang mengagumkan. Dan bukan baru-baru ini saya menyadari bahwa apa yang menjadi harta manusia berbalik menjadi tanda tanya, kemudian berakhir menjadi pernyataan-pernyataan yang saling beradu:
tentang Tuhan dan ke-ada-an-Nya.
Berangkat dari wacana peluncuran proton Hidrogen di Large Hadron Collider milik CERN di Geneva yang disebut-sebut sebagai percobaan atas penemuan 'partikel Tuhan' Desember 2009, alam raya semakin membangkitkan decak kagum pada diri saya sendiri. Bukan tentang bagaimana manusia berlomba-lomba mengungguli Tuhan, tapi lebih pada bagaimana The Higher Being, atau sebutlah suatu kekuatan terbesar semesta yang kita sebut Tuhan, membangkitkan keingintahuan beserta upaya-upaya besar akan pencarian atas-Nya.
Lihatlah bagaimana manusia, dalam kekayaannya sebagai spesies yang paling unggul, dalam keahliannya yang dikembangkan masing-masing, sama-sama mengejar jawaban atas asal muasal eksistensinya sendiri, berikut pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mengikutinya: Why are we here? Why were we born in this universe? Why should there be something instead of nothing? What is the basic of each's existence?
Filsafat, teologi, kosmologi, fisika teori, kepercayaan mistis, dan sebagainya. Kekayaan manusia dalam perjalanannya mencari "Tuhan"-lah yang mengagumkan.
Akhir-akhir ini kembali bangkit minat saya terhadap kosmologi, terlebih setelah menyelami (baru) setengah bagian buku Hawking berjudul The Grand Design, yang membawa saya pada kenikmatan-kenikmatan untuk menyaksikan dokumenter-dokumenter online mengenai string theory, m-theory, big bang, so on and so for.
Terlepas dari konklusi yang ditanyakan setiap orang mengenai argumen-argumen affirmative maupun oposisi tentang adanya Tuhan, saya membiarkan diri saya memperoleh kesenangan untuk berada di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, beberapa malam yang lalu, ketika seorang teman memberikan link forum yang secara membahas string teory, dan ternyata ketika dibuka, judul threadnya sungguh mengejutkan "Debat: Eksistensi Tuhan". Saya menatap dengan hampa: antara ingin tertawa atau kecewa.
Pertanyaan akan ada atau tidaknya Tuhan memang sudah lama membawa manusia pada perdebatan, juga pembunuhan (mengingat apa yang terjadi pasa Abad Kegelapan). Seringkali, ilmu pengetahuan berseteru dengan dogma, dan pertengkaran antara sains dan agama sering juga membawa pada pertanyaan-pertanyaan tak berujung.
Saya tidak bisa menempatkan diri untuk berdiri di kepercayaan yang mana, tapi untuk membawa manusia untuk saling tinju meninju mengenai keyakinannya tentu bukan sesuatu yang bisa saya dukung. Baik dari golongan ateis maupun teis, pasti ada saja orang yang menyebalkan, yang sama-sama fundamentalis dan sama-sama mau menang sendiri.
Sekarang, jika masing-masing mengajukan argumennya sendiri-sendiri, apakah pada akhirnya akan membawa pada kebenaran? Jika iya, sekarang saya bertanya, apa itu kebenaran? Apa kebenaran adalah hakikat yang absolut? Bagaimana suatu hal bisa menjadi kebenaran yang absolut?
Saya ajukan saja pertanyaan di buku Hawking, "What is reality?", dengan berangkat dari analogi seekor ikan mas yang ditaruh di dalam akuairum bundar, dimana semua hal yang dilihat oleh si ikan akan melengkung-lengkung. Manusia yang berada di luar akuarium akan menyebut bahwa yang dilihat si ikan adalah palsu. sementara ketika kita menempatkan diri kita dalam posisi si ikan, apa yang kita lihatlah yang nyata.Kemudian sekarang, bagaimana kalau ternyata apa yang kita anggap "realita" adalah "palsu" di balik lensa tak kasat mata yang mengaburkan sesuatu yang lebih besar, di luar "akuarium ikan" tempat tinggal kita di semesta yang kita kenali ini?
Mungkin oleh para ateis fundamentalis saya akan disebut takut untuk beradu argumen tentang keberadaan Tuhan, sementara di sisi lain saya akan disebut seorang yang krisis iman di mata para penganut agama fundamentalis karena mengagumi apa yang dilakukan oleh para fisikawan yang inspirasional semacam Hawking, Brian Green, Michio Kaku, dan lainnya dalam mencari dasar dari segala dasar.
Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Kierkegaard, ketika kita bicara tentang Tuhan, kita bicara tentang sesuatu yang bersifat eksistensial; yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman nyata. Seperti cinta, contohnya. Apakah kamu percaya cinta itu ada? Jika iya, jelaskan pada saya satu sebuah gambaran yang jelas, konkrit, rasional, dapat dilihat oleh mata, dan absolut tentang bentuk dari Cinta. Jika kamu menjawab dengan contoh seorang ibu yang rela mengorbankan nyawa untuk anaknya, saya bisa saja jawabi bahwa itu semata naluri manusia, sebuah common sense yang biasa saja, atau sekedar pertanggungjawaban si ibu karena sudah capek-capek 9 bulan mengandung si anak. Tapi, setelah menjawab seperti itu pun, seseorang akhirnya harus bisa membuktikan bahwa cinta tidak ada. Bagaimana?
Saya rasa, tidak ada yang bisa sepenuhnya membuktikan bahwa Tuhan itu ada, sebagaimana tidak ada yang bisa sepenuhnya membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Dengan demikian, saya memilih untuk meyakini keberadaan Tuhan di dalam hati saya. Toh, saya sendiri tidak menemukan Tuhan di dalam hingar bingar. Saya tidak mau memamerkan identitas keagamaan saya kalau saya sendiri tidak bisa memberi gambaran sebagai seorang yang beragama.
Beberapa kali sempat merasa malu pada seorang kenalan yang ateis, namun altruismenya begitu luar biasa jauh melebihi orang-orang religius di sekitar saya. Kalau saja dia tidak bilang bahwa ia tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, saya bisa mengecap dia sebagai seorang Kristiani, misalnya, dilihat dari namanya.
Nah, sekarang, apa gunanya beragama tapi tidak mencerminkan apa yang diajarkan oleh agama tersebut? Apa gunanya berlaku religius dalam artian melakukan ritual dan tradisi tanpa tahu untuk apa dan siapa melakukan segalanya itu? Dan apa juga gunanya menempelkan label agama pada diri sendiri tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya agama tersebut harus implikasikan di dalam kehidupan nyata? Bukannya menghumaniskan suatu dogma, atau bahkan men-sekulerkan suatu iman, tapi dalam beriman pun harus ada suatu liberalisasi, menurut saya. Tidak melulu harus terpaku, bahwa beriman berarti melulu ritual dan ritual yang berfokus pada yang di atas (beriman secara vertikal), tapi juga bagaimana beriman secara horizontal, secara nyata di dunia tempat kita berada sekarang. Kalau hanya melulu vertikal, baiklah kita buat kompetisi siapa yang masuk surga duluan, dengan banyak-banyak melakukan ritual, sementara secara horizontal kita saling beradu dan tidak peduli. Begitu?
Sejak kemarin saya tidak mencantumkan identitas agama di profil Facebook saya. Simply displaying "Catholic" in religion column on your Facebook profile doesn't make you a Catholic. Seperti yang dikatakan oleh G.K. Chesterton: "Just going to church doesn't make you a Christian any more than standing in your garage makes you a car."
Alasannya, bukan karena saya belum siap membawa tanggung jawab untuk menjadi seorang Katolik dengan semata dibaptis secara Katolik enam tahun lalu, tapi untuk sementara ini, saya ingin memberikan tanggung jawab yang lebih besar pada diri saya, yakni bagaimana saya mampu membawa sifat-sifat gereja (satu, kudus, apostolik, dan terutama katolik = universal, liberal, terbuka dan memperhatikan semua) tanpa harus memasang label katolik dulu.
Seperti, seseorang meneriakkan "Go green!!" atau memasang status FB dan Twitter "Pemanasan global melanda, ayo hentikan global warming!!" tapi tidak berbuat apa-apa atau malah sembarangan konsumsi styrofoam, plastik, kertas, listrik, dan sebagainya. Mengkampanyekan sesutau tapi tidak tahu untuk apa dan untuk siapa, terjebak pada konsep sempit akan "hijau". Bukankah kita seharusnya langsung saja bertindak, meski dengan hal-hal sederhana, tanpa mementingkan label-label yang akan diberikan orang pada kita?
*
Dan saat ini hampir senja, matahari akan terbenam dan segera gelap menguasai realita yang saya saksikan at the very recent time. Masih dengan harapan yang sama untuk menyaksikan matahari muncul kembali, dan dalam kepercayaan saya, saya akan menyaksikan Tuhan lewat hari baru. Seorang skeptis hanya akan menjawab, yang akan saya temui besok hanya gejala alam dari hukum rotasi planet-planet di satu semesta yang kebetulan kita tinggali sekarang. Jika dilanjutkan, akan jadi perdebatan yang panjang, yang bisa saya jawabi, bahwa meskipun sains telah membawa manusia pada partikel, kemudian ke atom, subatomik seperti neutron dan proton, kemudian semakin dalam ke quark, kemudian ke string of energy yang mendasari segalanya, dari mana energi itu berasal? Bahkan sebelum Big Bang terjadi pun, darimana energi yang mengisi 'kekosongan' semesta sekarang?
Seperti kata Albert Lewis, perjalanan menuju Tuhan itu tidak mudah dan kadang di luar nalar kita. Selamat menempuh perjalanan panjang. Selamat Paskah, mari berbagi. (:
Lihatlah bagaimana manusia, dalam kekayaannya sebagai spesies yang paling unggul, dalam keahliannya yang dikembangkan masing-masing, sama-sama mengejar jawaban atas asal muasal eksistensinya sendiri, berikut pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mengikutinya: Why are we here? Why were we born in this universe? Why should there be something instead of nothing? What is the basic of each's existence?
Filsafat, teologi, kosmologi, fisika teori, kepercayaan mistis, dan sebagainya. Kekayaan manusia dalam perjalanannya mencari "Tuhan"-lah yang mengagumkan.
Akhir-akhir ini kembali bangkit minat saya terhadap kosmologi, terlebih setelah menyelami (baru) setengah bagian buku Hawking berjudul The Grand Design, yang membawa saya pada kenikmatan-kenikmatan untuk menyaksikan dokumenter-dokumenter online mengenai string theory, m-theory, big bang, so on and so for.
Terlepas dari konklusi yang ditanyakan setiap orang mengenai argumen-argumen affirmative maupun oposisi tentang adanya Tuhan, saya membiarkan diri saya memperoleh kesenangan untuk berada di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, beberapa malam yang lalu, ketika seorang teman memberikan link forum yang secara membahas string teory, dan ternyata ketika dibuka, judul threadnya sungguh mengejutkan "Debat: Eksistensi Tuhan". Saya menatap dengan hampa: antara ingin tertawa atau kecewa.
Pertanyaan akan ada atau tidaknya Tuhan memang sudah lama membawa manusia pada perdebatan, juga pembunuhan (mengingat apa yang terjadi pasa Abad Kegelapan). Seringkali, ilmu pengetahuan berseteru dengan dogma, dan pertengkaran antara sains dan agama sering juga membawa pada pertanyaan-pertanyaan tak berujung.
Saya tidak bisa menempatkan diri untuk berdiri di kepercayaan yang mana, tapi untuk membawa manusia untuk saling tinju meninju mengenai keyakinannya tentu bukan sesuatu yang bisa saya dukung. Baik dari golongan ateis maupun teis, pasti ada saja orang yang menyebalkan, yang sama-sama fundamentalis dan sama-sama mau menang sendiri.
Sekarang, jika masing-masing mengajukan argumennya sendiri-sendiri, apakah pada akhirnya akan membawa pada kebenaran? Jika iya, sekarang saya bertanya, apa itu kebenaran? Apa kebenaran adalah hakikat yang absolut? Bagaimana suatu hal bisa menjadi kebenaran yang absolut?
Saya ajukan saja pertanyaan di buku Hawking, "What is reality?", dengan berangkat dari analogi seekor ikan mas yang ditaruh di dalam akuairum bundar, dimana semua hal yang dilihat oleh si ikan akan melengkung-lengkung. Manusia yang berada di luar akuarium akan menyebut bahwa yang dilihat si ikan adalah palsu. sementara ketika kita menempatkan diri kita dalam posisi si ikan, apa yang kita lihatlah yang nyata.Kemudian sekarang, bagaimana kalau ternyata apa yang kita anggap "realita" adalah "palsu" di balik lensa tak kasat mata yang mengaburkan sesuatu yang lebih besar, di luar "akuarium ikan" tempat tinggal kita di semesta yang kita kenali ini?
Mungkin oleh para ateis fundamentalis saya akan disebut takut untuk beradu argumen tentang keberadaan Tuhan, sementara di sisi lain saya akan disebut seorang yang krisis iman di mata para penganut agama fundamentalis karena mengagumi apa yang dilakukan oleh para fisikawan yang inspirasional semacam Hawking, Brian Green, Michio Kaku, dan lainnya dalam mencari dasar dari segala dasar.
Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Kierkegaard, ketika kita bicara tentang Tuhan, kita bicara tentang sesuatu yang bersifat eksistensial; yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman nyata. Seperti cinta, contohnya. Apakah kamu percaya cinta itu ada? Jika iya, jelaskan pada saya satu sebuah gambaran yang jelas, konkrit, rasional, dapat dilihat oleh mata, dan absolut tentang bentuk dari Cinta. Jika kamu menjawab dengan contoh seorang ibu yang rela mengorbankan nyawa untuk anaknya, saya bisa saja jawabi bahwa itu semata naluri manusia, sebuah common sense yang biasa saja, atau sekedar pertanggungjawaban si ibu karena sudah capek-capek 9 bulan mengandung si anak. Tapi, setelah menjawab seperti itu pun, seseorang akhirnya harus bisa membuktikan bahwa cinta tidak ada. Bagaimana?
Saya rasa, tidak ada yang bisa sepenuhnya membuktikan bahwa Tuhan itu ada, sebagaimana tidak ada yang bisa sepenuhnya membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Dengan demikian, saya memilih untuk meyakini keberadaan Tuhan di dalam hati saya. Toh, saya sendiri tidak menemukan Tuhan di dalam hingar bingar. Saya tidak mau memamerkan identitas keagamaan saya kalau saya sendiri tidak bisa memberi gambaran sebagai seorang yang beragama.
Beberapa kali sempat merasa malu pada seorang kenalan yang ateis, namun altruismenya begitu luar biasa jauh melebihi orang-orang religius di sekitar saya. Kalau saja dia tidak bilang bahwa ia tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, saya bisa mengecap dia sebagai seorang Kristiani, misalnya, dilihat dari namanya.
Nah, sekarang, apa gunanya beragama tapi tidak mencerminkan apa yang diajarkan oleh agama tersebut? Apa gunanya berlaku religius dalam artian melakukan ritual dan tradisi tanpa tahu untuk apa dan siapa melakukan segalanya itu? Dan apa juga gunanya menempelkan label agama pada diri sendiri tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya agama tersebut harus implikasikan di dalam kehidupan nyata? Bukannya menghumaniskan suatu dogma, atau bahkan men-sekulerkan suatu iman, tapi dalam beriman pun harus ada suatu liberalisasi, menurut saya. Tidak melulu harus terpaku, bahwa beriman berarti melulu ritual dan ritual yang berfokus pada yang di atas (beriman secara vertikal), tapi juga bagaimana beriman secara horizontal, secara nyata di dunia tempat kita berada sekarang. Kalau hanya melulu vertikal, baiklah kita buat kompetisi siapa yang masuk surga duluan, dengan banyak-banyak melakukan ritual, sementara secara horizontal kita saling beradu dan tidak peduli. Begitu?
Sejak kemarin saya tidak mencantumkan identitas agama di profil Facebook saya. Simply displaying "Catholic" in religion column on your Facebook profile doesn't make you a Catholic. Seperti yang dikatakan oleh G.K. Chesterton: "Just going to church doesn't make you a Christian any more than standing in your garage makes you a car."
Alasannya, bukan karena saya belum siap membawa tanggung jawab untuk menjadi seorang Katolik dengan semata dibaptis secara Katolik enam tahun lalu, tapi untuk sementara ini, saya ingin memberikan tanggung jawab yang lebih besar pada diri saya, yakni bagaimana saya mampu membawa sifat-sifat gereja (satu, kudus, apostolik, dan terutama katolik = universal, liberal, terbuka dan memperhatikan semua) tanpa harus memasang label katolik dulu.
Seperti, seseorang meneriakkan "Go green!!" atau memasang status FB dan Twitter "Pemanasan global melanda, ayo hentikan global warming!!" tapi tidak berbuat apa-apa atau malah sembarangan konsumsi styrofoam, plastik, kertas, listrik, dan sebagainya. Mengkampanyekan sesutau tapi tidak tahu untuk apa dan untuk siapa, terjebak pada konsep sempit akan "hijau". Bukankah kita seharusnya langsung saja bertindak, meski dengan hal-hal sederhana, tanpa mementingkan label-label yang akan diberikan orang pada kita?
*
Dan saat ini hampir senja, matahari akan terbenam dan segera gelap menguasai realita yang saya saksikan at the very recent time. Masih dengan harapan yang sama untuk menyaksikan matahari muncul kembali, dan dalam kepercayaan saya, saya akan menyaksikan Tuhan lewat hari baru. Seorang skeptis hanya akan menjawab, yang akan saya temui besok hanya gejala alam dari hukum rotasi planet-planet di satu semesta yang kebetulan kita tinggali sekarang. Jika dilanjutkan, akan jadi perdebatan yang panjang, yang bisa saya jawabi, bahwa meskipun sains telah membawa manusia pada partikel, kemudian ke atom, subatomik seperti neutron dan proton, kemudian semakin dalam ke quark, kemudian ke string of energy yang mendasari segalanya, dari mana energi itu berasal? Bahkan sebelum Big Bang terjadi pun, darimana energi yang mengisi 'kekosongan' semesta sekarang?
Seperti kata Albert Lewis, perjalanan menuju Tuhan itu tidak mudah dan kadang di luar nalar kita. Selamat menempuh perjalanan panjang. Selamat Paskah, mari berbagi. (:
0 comments