Perubahan Iklim Global dan Pandangan Etika Teologi - sebuah sesi kuliah umum

3/27/2011 02:37:00 PM

‎"Those who suffer already from climate change are the least responsible. Those who cause it are the least affected, but the earth system makes neighbors of the rich & poor; so also does the global trading economy" - Prof. Michael Northcott.

*


Sekali waktu, saya pernah ikut serta dalam satu kompetisi debat perubahan iklim yang bekerja sama dengan kementerian lingkungan hidup dan yayasan yang berkontribusi untuk mengutus dua delegasi anak muda ke UNFCCC di Cancun, Mexico.

Meski tidak membawa saya kemana-mana, setidaknya saya menangkap permasalahan yang menjadi pokok perdebatan. Dari motions debat tersebut, saya menyadari bahwa permasalahan perubahan iklim yang paling menjadi 'beban' terutama bagi PBB (sejauh yang saya tangkap) adalah bagaimana kepentingan untuk melestarikan lingkungan selalu berbenturan dengan kondisi ekonomi, baik dalam membeli barang-barang yang eco-friendly tapi mahal, atau bahkan sampai pada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kelas ekonomi bawah di negara berkembang yang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka untuk makan pun sudah rumit, apalagi untuk berpikir tentang perubahan iklim dan solusi untuk memitigasinya.
Intinya, kemiskinan menjadi permasalahan utama untuk segala-galanya. Sementara uang dan kekayaan menjadi tembok besar yang seringkali menghalangi empati kita untuk tumbuh dengan berdalih realita.

Fakta yang menyedihkan itu ada di hampir kepala setiap orang, dan kegelisahan akan pemecahan masalah yang semakin rumit terbawa di kepala saya sampai ke sebuah sesi kuliah umum yang saya ikuti di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada 25 Maret 2011 kemarin, bertajuk "A Global Climate Change and Theological Ethics" dengan Prof. Michael Northcott dari University of Edinburgh sebagai pembicaranya.

Profesor Northcott banyak melakukan riset yang berorientasi pada hubungan antara teologi, manusia, dan alam. Sebuah sesi kuliah umum yang menyenangkan, dan juga sesuai dengan ekspektasi karena cukup menjawab beberapa hal yang ada di dalam kepala saya.

Dari awal telah disampaikan dengan jelas, bahwa yang menjadi perkara terbesar (terlebih berkaitan dengan moral dan etika) adalah alienasi antara si kaya dan si miskin. Prof. Northcott menyebutkan bahwa yang menjadi tantangan moral terbesar berangkat dari fakta yang sudah menjadi rahasia umum :
Those who cause climate change are rich, and those who suffer climate change are poor and weak.
Kutipan yang mengawali tulisan ini menjadi inti pokok dari pembahasan dalam sesi kuliah umum yang dimulai pukul 19.30 sampai 21.30 tersebut.

Berkaitan dengan pandangan agama terhadap alam, saya pernah secara sekilas membaca tentang bagaimana suatu agama berhaluan: panteisme atau panenteisme; berkaitan dengan bagaimana Allah berimanensi saja atau berimanensi sekaligus bertransendesi di alam ciptaan-Nya, yang secara langsung berpengaruh pada ajaran agama bagi para pemeluk agamanya untuk memperlakukan alam.

Yang dibawakan Prof. Northcott bukan sesuatu yang filosofis, namun fakta yang seharusnya disadari oleh setiap orang: permasalahan moral para kapitalis yang menjadikan segala sesuatunya seolah rumit.

'Pada masa dulu (Prof. Northcott menggunakan istilah "A long time ago", yang menjadikan pernyataan selanjutnya semakin ironis), forests belonged to everyone. Forests were commons', ujarnya.
Namun kemudian para kapitalis meng-entitled hutan-hutan, dan menjadikkannya 'milik' mereka. Apa yang seharusnya menjadi milik bersama dikuasai secara sepihak oleh kapitalis untuk dieksploitasi. Menurut Prof. Northcott, "Capitalists don't have morals to share commons."
Sisi socialist saya senang mendengar beliau menekankan bagian "don't have morals" untuk para kapitalis. Ha!


Dalam memanajemen kepemilikan bersama (commons management), butuh satu sistem yang memang menuntut beragam institusi untuk ambil bagian di dalam masyarakat pra-kapitalis. Sementara yang dilakukan kapitalis untuk memanage adalah tindakan-tindakan yang tidak adil. "They enact equity, fairness, and justice."

Pandangan teologi mulai masuk ke sini : pada bagaimana agama sebagai salah satu pedoman moral juga seharusnya ambil bagian untuk mengarahkan manusia untuk sampai ke pola pikir untuk membagi apa yang seharusnya menjadi milik bersama.
Bahkan pandangan idealis semacam itu sudah tergambar di artefak kuno, The Code of Hammurabi, mengenai fairness, justice, dan 'hukuman' pada mereka yang menekan yang lemah.
Tidak hanya ajaran Kristiani, namun juga dalam kitab suci Muslim, menekankan bagaimana keadilan pada setiap orang harus diterapkan. Sebuah mimpi yang seolah tidak pernah tercapai.

Prof. Northcott secara tepat membawa definisi Karl Marx tentang kapitalis: "All that is solid melts into air". Bahan bakar fosil, segala bentuk energi yang padat yang ada di dalam bumi, atau bahkan pepohonan di hutan, telah meleleh ke udara menjadi jejak-jejak karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Lihat saja bagaimana hutan di Amazon nyaris habis, dan lahan di Kalimantan berubah menjadi ladang kelapa sawit yang mempunyai prospek jauh lebih cerah di pasar bisnis.
Mengutip perkataan Prof. Northcott :
"Geophysical fix for climate change is keeping the carbon underground to stabilizes the earth's climate and the relationship between land and ocean; but market refuses the relation."
Moral, moral. Kemana kamu pergi?

*

Apa yang seharusnya kita bangkitkan sekarang adalah suatu bentuk empati yang mendalam terhadap alam. On how we recover the spiritual relation between human and nature.

Itu pertanyaan yang saya ajukan pada beliau, karena ketika kita bicara tentang etika dan moral yang seharusnya menjadi dasar dari manusia, kita terpentok pada fakta bahwa manusia jauh lebih tunduk pada tuntutan ekonomi :
Para kapitalis lebih suka membabat hutan untuk mengejar target pasar tahunan mereka dibanding memikirkan dampak besar yang 'menunggu giliran untuk tampil', sementara orang-orang kelas bawah dibanding memikirkan berjualan dengan bahan-bahan organik, akan lebih suka menggunakan beratus-ratus wadah plastik untuk dagangan mereka karena murah dan mudah didapat, karena tuntutan ekonomi mereka jauh lebih keras menuntut dibanding rasa kesadaran akan tanggung jawab atas lingkungan hidup.
What a vicious circle.
Dan ketika saya menambahkan pertanyaan tentang bagaimana teologi memandang hal tersebut, beliau menjawab (cukup lucu), adalah dengan faith and hope, to ask the righteousness for people.

Tapi beliau tidak sefideis itu tentunya. Beliau menyebutkan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah hukum dan perundangan yang jelas dan tegas untuk mengatur pengolahan suatu kepemilikan bersama, karena ketika kita bicara tentang hutan, alam, lautan -- tentang bumi, kita bicara tentang milik kita tanpa satu pembatas identitas, sebagai peghuni di bawah satu atmosfer. (Dan bukan tentang siapa yang bermodal dan siapa yang tidak! (Tambahan saya sendiri saja yang makin sebal sama kapitalis.))

Beliau benar dengan mengatakan bahwa kebijaksanaanlah yang kita butuhkan, yang menurut pandangan teologi, bisa kita minta lewat doa kepada Allah. Mazmur 72 sempat ditampilkan di salah satu slide beliau, dan beliau mengatakan bahwa Mazmur 72 sudah bukan lagi sesuatu yang metaforikal. "Kiranya ia seperti hujan yang turun ke atas padang rumput, seperti dirus hujan yang menggenangi bumi!" Menurutnya, pemimpin yang baik dan bijak, adalah mereka yang mampu membawa iklim yang baik, untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan berorientasi pada pasar dan keuntungan (lagi-lagi tambahan pribadi saya saja karena sebal pada kapitalis).

Bahkan, beberapa kebijakan yang diajukan oleh PBB saja sebenarnya tidak sepenuhnya memecahkan permasalahan. Lagi-lagi, karena perekonomian menjadi penghalang. Carbon trading, contohnya, Prof. Northcott anggap sebagai another excuse for another colonial land grab.
Can't agree more, Sir!

*

Ketika berbicara tentang hal ini, mau tak mau harus kembali pada kenyataan bahwa uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya butuh uang. Bahkan untuk melakukan kampanye-kampanye untuk lingkungan saja kita butuh uang untuk mendanai, meski sekecil apapun. Bukankah mengerikan untuk menyadari betapa parahnya pola pikir kapitalisme dan konsumerisme telah merajai pribadi kita, sampai kita kehilangan moral dasar kita sebagai manusia untuk membagi apa yang seharusnya jadi milik bersama?

I thanked Prof. Northcott for such inspiring lecture.
Memang benar kata Karl Marx, mereka yang teralienasi seringkali tidak menyadari alienasi yang 'menimpa' mereka. Tidak akan menyebut agama sebagai opium, saya hanya akan berkata bahwa bagaimana pun caranya, biarlah moral dan etika tetap ada di dalam diri kita masing-masing, jangan biarkan super-ego terdengar semakin sayup dan rapuh. Maaf jika yang saya sampaikan terdengar terlalu idealis (atau bahkan utopis). You may say that I'm a dreamer, but I'm not the only one.

Saya senang sekali dengan bagaimana Prof. Northcott mengakhiri jawabannya atas pertanyaan saya:
"There are people who have such vision for better earth. And those who do, should make differences."

Siap, Anak Muda? (;

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe