Who told you a calf to be?

3/30/2011 08:56:00 AM

Hal ini melintas begitu saja di pikiran saya:

Saya suka bingung dengan teman-teman mahasiswa yang setiap hari mengeluhkan tugas-tugasnya. Waktu awal masuk kuliah pun jurusan dipilih sendiri, dan pasti tidak hanya asal isi formulir : ditelaah dulu prospek jurusan dan universitas pilihannya (meski tidak absolut). Dengan demikian, berangkat dari kebebasan diri untuk memilih (memilih untuk kuliah atau tidak, memilih jurusan yang ini atau tidak, memilih universitas yang ini atau yang itu) itu, bukankah menjalankan tugas-tugas menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan? Ada tanggung jawab di balik setiap kebebasan.

(Catatan: Ketika kebebasan adalah bebas yang sebebas-bebasnya, kebebasan itu tidak lagi akan bermakna. Ambil bentuk demonstrasi sebagai bentuk kebebasan berbicara. Misalnya, sekelompok buruh menuntut gaji untuk dinaikkan sesuai dengan aturan pemerintah dengan cara berdemonstrasi. Itu kebebasan berbicara. Bayangkan ketika menjalankan kebebasan berbicaranya, mereka lalu anarkis dengan merusak fasilitas umum, membakar ban, merusuh di jalanan dan mengganggu pengguna jalan dengan berkata 'Ini kebebasan!', apakah makna demonstrasi tadi, yaitu penuntutan hak, masih termaknai?)

Mungkin akan lain soal dengan mereka yang jurusannya dipaksakan oleh orang tua, yang kalau saya elaborasi bisa menjadi pembahasan yang cukup beda konteks ( Saya bicara tentang kebebasan yang ditekan tapi enggan diperjuangkan. Bukan berarti melawan / kualat pada orang tua, tapi memang setiap manusia harus bisa belajar, bahwa kedewasaan adalah saat dimana orang tidak melulu menggantungkan pilihan hidupnya pada orang lain. Apalagi mereka yang akan masuk perguruan tinggi, berarti mereka secara alamiah dituntut untuk memasuki level yang lebih tinggi untuk mencapai kedewasaan. Jika tidak kunjung dibiasakan, bagaimana nanti mereka mengambil keputusan sendiri? There is no 'later' word to excuse from growing up.)

Kembali ke 'keluhan' itu tadi.
Kadang, mengeluh (kalau tidak menyusahkan orang) juga tidak sepenuhnya salah sih. Ada kalanya mengeluh bisa melepas sedikit stres, tapi mengeluh tidak pernah menjadikan pekerjaan selesai. Di awal masuk perkuliahan, saya juga tidak pernah lepas dari keluhan, sampai dipikir-pikir, setelah 4 tahun di universitas, saya kemungkinan besar akan menghabiskan sisa hidup saya dengan bekerja sebagai desainer grafis, kurang lebih sama (atau bahkan lebih) banyak menuntut di banding di universitas. Lalu? Apa saya akan membiarkan diri saya terbiasa untuk mengeluh, sampai akhir hayat saya nanti sebagai desainer grafis? Membayangkannya saja sudah konyol sekali.

Dan menahan keluhan bukan berarti 'memaksa' diri untuk menikmati ketika situasi yang ada tidak lepas dari tuntutan dan tekanan yang menyebalkan.
Saya pribadi, menganggap hal pertama yang harus dilakukan ketika dihadapkan pada situasi yang tidak mengenakkan but we seem can never run from it adalah dengan belajar memahami. Karena kadang, ada tembok besar yang menghalangi kita untuk menikmati realita. Dan tembok besar itu bernama: mind-set, dengan praduga, insepsi, dan pemikiran pendek sebagai semen dan batu batanya. Belum apa-apa sudah bilang tidak enak.
Sudah saatnya untuk belajar untuk belajar. Learn how to learn.
Sebuah proses yang panjang, memang; namun makin ke sini, semakin terlihat menyenangkan (dan semakin dibutuhkan).


Dan selagi menyusun post ini, tab lain menampilkan halaman profil Facebook seorang teman. Keluhan (lagi) statusnya. Dilihat-lihat kasihan juga kalau menghabiskan waktu dan energi untuk mengeluh. Mengingatkan saya akan Donna Donna-nya Joan Baez.
"Stop complaining, said the farmer. Who told you a calf to be? Why don't you have wings to fly with? Like a swallow so proud and free."

Situasi, menurut saya, tidak selamanya absolut (atau malah tidak pernah absolut?). Penyusunnya, besides the Divine one, adalah manusia juga. Makhluk yang masih satu spesies dengan kita, dengan tingkatan yang sama.
Dengan demikian, kita punya kesempatan untuk mengubah situasi. Ketika peraturan seseorang dianggap menyusahkan dan tidak adil atau bahkan tidak nyambung antara tujuan dan apa yang dikerjakan, ya bisa coba disampaikan.
Hak kita, kan, sebagai mahasiswa untuk mengetahui tujuan dan maksud penanaman pikiran (pembelajaran di kelas, maksudnya :D). Apakah memang sesuai dengan apa yang seharusnya dicapai dari mata kuliah tersebut? Apakah memang akan memberi 'modal' dasar kita untuk menjalani suatu progres? Barangkali si dosen memang punya tujuan tertentu, yang siapa tahu akan membuahkan hasil pembelajaran yang baik? Atau bisa saja menjadi masukan yang baik untuk si dosen agar ke depannya bisa sama-sama mengerti.

Saya berkata begini karena saya tidak bisa tidak setuju dengan apa yang SHG bilang, "Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau."
Dan dari apa yang saya baca (iya, baca) dari status jejaring sosial dan ungkapan beberapa teman mahasiswa, kesenangan kok sepertinya jauh sekali untuk didapat ketika berhubungan dengan perkuliahan dan pembelajaran?
Ini hanya pandangan pribadi saja, yang secara tidak sengaja terlintas di dalam kepala.

And dudes, stop complaining. No one told you a calf to be.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe