Anti-Sekuel

2/23/2011 09:57:00 AM

Karena utopia adalah kenyataan, dan realita adalah ambivalensi, kusaksikan dunia yang terlena dalam tipuan. Lalu kita bertanya salah siapa, yang dengan asumsi manusiawinya maka ia tertipu, atau ia yang dengan keliaran ego-nya sendiri telah menjadikan ambisi menjadi amunisi? Kemudian kita akan sama-sama terkekeh, bertanya jika memang ada yang salah, dalam persona. Rasanya tidak. Namun sirkumtansi? Kurasa, ya.

Kusampaikan saja.
Tidak ada sapaan yang memabukkan, apalagi lambaian tangan yang kusebut menyebalkan. Ya, mungkin ada, namun hanya terjadi ketika rindu begitu mengerikan dan kepala terdegradasi kapasitas rasionalitasnya, yakni pada satu atau dua hari ketika alunan lagu dan rangkaian verbal artistik menggelitik sensivitas hati yang tak stabil. Itu saja. Kusaksikan semesta berkonspirasi. Ya, itu dia. Rangkaian kebetulan-kebetulan kosmis yang manis. Memang ada sapaan dan lambaian tangan, dalam sepersekian detik yang diulang-ulang, menghabiskan satu roll film dalam kepala.


Tidak ada derap-derap langkah yang bisa dinikmati. Kami menjadi bersama dalam rangkaian kata-kata dalam karakternya yang terbatas. Itu juga ketika pikiran kita dipertemukan dalam kebetulan yang sama-sama mendorong kita menumpahkannya. Aku menjadi saksi kebetulan-kebetulan yang mengecoh. Mungkin semesta memang suka bersenang-senang dengan manusia yang memang senang bermain dengan asumsinya sendiri-sendiri. Lucu dan menggelikan manusia itu. Ya, tertawai aku. Atau kamu yang terus menuduh.

Tidak pernah ada perjumpaan yang membawa kami menghabiskan menit-menit paling menggemaskan dalam hidupku. Tidak ada, dalam realita. Aku menikmatinya dalam fantasi yang kadang berakhir menjijikkan, kamu tahu – ke-manusia-an kita. Kuhabiskan saja simpanan diksi yang kubaluti kemungkinan-kemungkinan untuk menghibur kerinduan yang mentransformasi diri menjadi sepi.

Tidak ada ungkapan-ungkapan manis yang disimpan dalam diam, karena kami tak sama-sama mengingini. Karena manusia adalah pendusta, kutahu kamu akan berkata ‘Tidak tahu’ ketika aku mengajukan pertanyaan retoris ‘Ya, kamu tahu, bukan? Kita menikmati letupan-letupan rindu yang menggairahkan, terlena dalam keingintahuan, menyelami tatapan-tatapan mata yang menjadikan asumsi berotonomi dalam pikiran dan pengharapanmu? Itu saja.’

Tapi, memang pernah ada sapaan yang diakhiri panggilan nama kecil yang menyentil. Manis; untuk kemudian aku sesapi lagi kala proyeksi akan imaji atas dirinya mengisi kekosongan pikiran. Namun kemudian berakhir dengan ketidakmungkinan – kata yang membosankan, karena sensibilitas kita yang beradu dengan norma (dan kenormalan?)

Memang pernah ada kaki-kaki yang melemah dan enggan bergerak ketika gelap iris mata kami masing-masing bertubrukan dalam persepsi-persepsi yang membingungkan. Kutangkap kami sama-sama bertanya tentang dimensi waktu yang tak kunjung mengizinkan. Mungkin karena kami sudah bertumbuh dalam masa yang tak sama dan menggerakkan rasa yang salah sehingga disatukan dalam momen-momen yang tak pernah tepat?
Memang ada dimensi yang enggan. Memang ada imaji laki-laki yang terpatri. Memang ada moral yang bertubrukan lalu saling berjatuhan. Juga letupan-letupan momen dalam detik yang terlalu minim namun selalu diproyeksikan lagi dan lagi. Hanya saja tidak dalam permainan emosi yang bisa kamu nikmati, seperti ketika ia sudah dilebur dengan liarnya buah pikir. Tidak sama seperti yang kamu nikmati dalam diksi-diksi yang terdahulu.
Kalau yang dulu kamu percayai sebagai pengakuan yang vurgal, bagaimana kamu menyebut anti-sekuel ini?

You Might Also Like

1 comments

followers

Subscribe