percakapan dalam kepala : indera dan percaya
1/13/2011 06:42:00 AM"kenapa wajahmu?"
"aku lelah. tak tidur semalam."
"kenapa?"
"terlalu banyak yang hal yang harus aku kerjakan."
"untuk kegiatan religius?"
"ya."
"dan meninggalkan tugas-tugasmu dalam keadaan tak terjamah?"
hening. "ya."
"kenapa?"
"kenapa apanya?"
"kenapa kamu memilih begitu?"
"karena ini pelayanan."
"aku tidak melihat adanya justifikasi yang dapat kuterima."
"pelayanan untuk Dia yang memberi kita kehidupan dan segalanya. kita melakukan ini untuk Dia, meski melayani-Nya dengan manusia lain sebagai medianya. kenapa kamu harus bertanya kenapa?"
"kamu pikir Dia berbahagia karenanya?"
"berbahagia karena apa?"
"karena kamu lelah dan tubuhmu mungkin lambat laun tak akan lagi mampu bergerak segesit sekarang; dengan kewajibanmu yang terlupakan, lalu dalam keadaanmu burukmu kamu tetap berkata bahwa ini pelayanan dan harus kamu lakukan; bahkan kamu sendiri pun tidak akan tahu apakah hatimu berbahagia atau tidak dengan yang kamu lakukan."
"aku tidak berkata aku ingin membahagiakan Tuhan."
"lalu kenapa kamu melakukan ini dan itu?"
"....."
"karena kamu ingin menyenangkan hati-Nya?"
"...."
"kuanggap itu sebagai 'ya'."
"kamu bicara seolah Dia tidak perlu dibahagiakan."
"kupikir kita sama-sama sepakat bahwa semesta tempat kita hanya kita menjadi titik debu di dalamnya ada dalam kepalan tangan-Nya? betapa serakahnya kalau Dia tidak bahagia."
"kamu toh melayani juga! kenapa kamu bertanya kalau aku ingin menyenangkan Tuhan atau tidak?!"
"simply, aku bekerja untuk manusia-manusia yang katamu dan rekan-rekanmu adalah 'jiwa-jiwa yang tersesat'. ya, kita sama-sama tersesat. dan ya, kita sama-sama ada dalam keantaraan. tapi kupikir, manusia yang dalam ketidaktahuan tentang keapaannya yang membuatnya lupa arti kepuasan dan ucapan syukur lah yang butuh disenangi."
"toh itu sama saja! kamu hanya ingin mengecapku sebagai orang religius yang konyol, bukan?"
"nah, lihat, kan bagaimana manusia-manusia ini konyol. tidak ada yang menyebutmu religius, apalagi religius yang konyol. lagipula apa esensi utama menjadi religius ketika matamu hanya untuk yang tak tertangkap indra?"
"kata-katamu barusan mungkin saja menyakiti hati-Nya!"
"bagaimana kamu tahu kalau Dia terluka atau tidak? dan kenapa Dia terluka? bukankah Dia yang mengajarkan kamu dan aku untuk mengasihi musuh-musuh kita?"
"kamu memutarbalik dogma menjadi dalih."
"aku hanya menyampaikan paradoks dari apa yang kamu percaya. sederhana. apa esensinya jika hatimu hanya untuk tak pernah kita tahu Ia terluka atau tidak.
ada doktrin yang tak dapat kuterima.
dan karenanya ada sangkaan-sangkaan yang harus kuterima.
tak apa.
memang indera mengecoh, tapi pikiranmu bisa jauh lebih mengacau lagi."
"....."
"karena kamu ingin menyenangkan hati-Nya?"
"...."
"kuanggap itu sebagai 'ya'."
"kamu bicara seolah Dia tidak perlu dibahagiakan."
"kupikir kita sama-sama sepakat bahwa semesta tempat kita hanya kita menjadi titik debu di dalamnya ada dalam kepalan tangan-Nya? betapa serakahnya kalau Dia tidak bahagia."
"kamu toh melayani juga! kenapa kamu bertanya kalau aku ingin menyenangkan Tuhan atau tidak?!"
"simply, aku bekerja untuk manusia-manusia yang katamu dan rekan-rekanmu adalah 'jiwa-jiwa yang tersesat'. ya, kita sama-sama tersesat. dan ya, kita sama-sama ada dalam keantaraan. tapi kupikir, manusia yang dalam ketidaktahuan tentang keapaannya yang membuatnya lupa arti kepuasan dan ucapan syukur lah yang butuh disenangi."
"toh itu sama saja! kamu hanya ingin mengecapku sebagai orang religius yang konyol, bukan?"
"nah, lihat, kan bagaimana manusia-manusia ini konyol. tidak ada yang menyebutmu religius, apalagi religius yang konyol. lagipula apa esensi utama menjadi religius ketika matamu hanya untuk yang tak tertangkap indra?"
"kata-katamu barusan mungkin saja menyakiti hati-Nya!"
"bagaimana kamu tahu kalau Dia terluka atau tidak? dan kenapa Dia terluka? bukankah Dia yang mengajarkan kamu dan aku untuk mengasihi musuh-musuh kita?"
"kamu memutarbalik dogma menjadi dalih."
"aku hanya menyampaikan paradoks dari apa yang kamu percaya. sederhana. apa esensinya jika hatimu hanya untuk tak pernah kita tahu Ia terluka atau tidak.
ada doktrin yang tak dapat kuterima.
dan karenanya ada sangkaan-sangkaan yang harus kuterima.
tak apa.
memang indera mengecoh, tapi pikiranmu bisa jauh lebih mengacau lagi."
0 comments