­

how do you accept?

12/08/2010 07:37:00 AM

ini cerita simple di kelas ilustrasi desain sabtu pagi (-pagi sekali) kemarin.

dosen-dosen masuk kelas membawa tumpukan amplop coklat ukuran A3.
ah ya, proyek UTS ilustrasi desain , yang kebetulan saya dapat jatah mengangkat topik "Budaya Korupsi" was going to be handed back to the students and all in my mind was :
" iya, saya siap dapat nilai C." dengan alasan :

a. dari dulu nilai Menggambar 1 dan 2 saya paling tinggi cuma 80.. pernah sekali nilai tugas dapet 87, menggambar ruangan (yang dulu saya sok-sok asumsikan, "apa gw memang seharusnya masuk arsitektur aja nih?")
dan dulu sekali, saya pernah dapet kado angka 40 bertengger di kertas gambar saya. jackpot.
jadi, faktor trauma menghasilkan faktor pasrah dan 'keterbukaan' terhadap nilai buruk.

b. UTS yang harusnya cuma memperbaiki yang sudah saya kerjakan selama setengah semester, saya kerjakan ulang dari awal. bukan, ini bukan sesuatu yang bagus, mengingat waktu yang saya punya minim sekali (saya lebih suka ikut escorting dan jadi volunteer selama kegiatan Teach For Indonesia daripada mengurusi UTS -- tee hee :D)
alhasil, pada hari-H pengumpulan, saya datang nyaris pukul 08.30 karena masih sibuk berkutat dengan cat air dan sebagainya. dasyat.


lalu, ketika si dosen mulai membacakan nilai menurut nomor absen dari paling bawah ke absen atas, saya cuma bisa mengelus dada; apalagi ketika membacakan nomor absen tertentu, beliau melanjutkan "atas nama ... dengan nilai... " saya cuma bisa melengos iri.
dan
rasanya jantung saya mau copot waktu pak amien menyebutkan nomor absen saya, "no.7, atas nama ellena ekarahendy, dengan nilai ... 90."
omfg. rasanya saya pengin guling guling di meja gambar.

dan waktu asistensi (karena saya sepenuhnya enggak pernah ngerti kenapa kumpulan sketsa2 sejelek itu bisa dihargai nilai 90), beberapa teman sekelas kepoh celingukan melihat hasil karya saya. saya malu.

lalu, seseorang berbisik ke temannya yang kemudian menyahut, "iya." sembari menatapi hasil gambar saya.
ketika negative thinking, mungkin saya akan berasumsi mereka menyetujui kalau karya saya tidak pantas dapat 90. dan perkataan itu hanya pernyataan pribadi saya, yang sampai detik ini masih bertanya-tanya kenapa nilai 90 direlakan utk saya, ketika kawan-kawan lain sudah melahirkan karya yang breathtaking.

namun, sesayup, saya mendengar kalimat "Bahas korupsi lebih enak.", yang sontak saya sahuti dalam hati, "Bagaimana bisa korupsi lebih enak?! Brainstorming untuk menghasilkan konsep yang tidak umum tentang korupsi gak segampang itu, kali. Jungkir balik gue cari perspektif tentang korupsi yang enggak biasa tapi tepat sasaran! Kalo boleh milih pun, gw jauh lebih baik ngambil tema Pluralisme, yang belakangan lagi gw kedepankan! Atau Nasionalisme aja sekalian! itu yang paling enak! paling jadi concern gw! Lo pikir selama ini gw suka ngurusin budaya korupsi? Bosen tau gak."

Pikiran marah berbauran di kepala; lalu seketika saya sadar, betapa tidak pernah puasnya manusia; betapa seringnya manusia menganggap sulit segala hal yang harus dikerjakannya.

dan pada saat itu, saya seketika ingat cerita Ajahn Brahm di buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, sebuah cerita tentang derita biksu junior dan derita biksu senior: bagaimana biksu junior iri pada biksu senior karena apa yang didapat oleh biksu junior tidak pernah mengenakkan, dan bagaimana -pada saat yang sama- biksu senior iri pada biksu junior karena yg harus dilakukan biksu senior tidak mengenakkan.

as simple as that. saya telusuri lagi, memanng pada awalnya saya sebal sekali harus membahas hal general seperti korupsi tapi dengan perspektif yang bikin jungkir balik, tapi lama kelamaan saya malah bilang ke diri saya sendiri, "ayolah, katanya lo mau jadi desainer? pertama-tama lo harus think out of box dulu. katanya lo bosen menggambar melulu? ayolah, jawab tantangan tentang korupsi lewat karya lo."
mungkin pemikiran yang akhirnya mau menerima itulah yang membawa saya pada nilai A. mungkin, loh.

oh ya, ada hal lain juga yang saya tangkap: untuk tidak underestimate dan melabeli diri sendiri terus menerus.
kalau saya terus bertumpu pada 2 alasan tadi, kapan ya saya maju? apakah saya akan terus menerus menjadi Mahasiswa-Desain-Nilai-Menggambar-C sampai saya lulus nanti?
saya enggak mau ah.

oh!
saya jadi ingat waktu intercomp (seleksi internal) untuk memilih top 6 best speakers untuk jadi wakil Binus di Asian BP Debate Competition di Malaysia beberapa waktu lalu. saya merasa bodoh sekali waktu mau seleksi debat, dan akhirnya pasrah dan berkata, "dan lo juga gak akan kepilih ke Malaysia, ell. pusing-pusing amat mikirin argumen bagus? pusing amat delivering speech well? pusing-pusing amat ngebagusin essay lo?"
jadi, ketika kita harus mengumpulkan essay tentang "Indonesia has to ratify The Haze Agreement", saya kerjakan asal-asalan; yang penting selesai.
and do you know what?
ketika tabulasi keluar, ngebacanya bikin sesak sesesak-sesaknya:
saya ada di urutan ke-9 dari total 20 speakers.
nyesek. nilai total speaker score saya (hanya dari debat, exclude nilai essay), cuma beda 3 poin dari 6th best speakers. bahkan, ketika ditotal dengan nilai essay, nilai saya cuma beda 1poin koma sekian.
gak tipis-tipis amat sih, tapi seandainya saya terlebih dahulu optimis dan gak melabeli diri sendiri, lalu berjuang keras pada essay saya, poin saya bisa saja bertambah sekian poin, dan pada  hari ini -hari pengetikan blog post ini- saya sedang menikmati hari terakhir di Malaysia setelah melewati rounds of debate di Asian BP.

perkaranya simpel kan?
tapi efeknya yang bikin nyesek.

saya pikir, sekarang waktunya untuk terus mengisi kepala saya dengan pikiran positif.
acceptance is needed, tapi bukan berati melabeli diri sendiri can be an excuse.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe