To kill the words, to kill your own killer.
7/06/2010 08:53:00 PM
Kembali tentang orang-orang yang membosankan. (Atau saya yang terlalu menyebalkan belakangan ini?)
Twitter, obviously, telah menjangkiti saya sedemikian kuatnya~ yang enggan saya tambahkan apakah itu baik atau tidak.
Beberapa orang telah dengan luar biasanya menginspirasi saya dengan tweet-tweet mereka, sementara yang lainnya, mengisi timeline saya dengan hal-hal yang membuat saya terus-menerus mempertimbangkan keputusan untuk meng-unfollow mereka.
Ini yang menjadi pertanyaan saya:
1. Kenapa harus mengumpat dan mengeluh di Twitter / Facebook / media sosial lainnya?
2.Apa memang media-media sosial tersebut dimaksudkan untuk menjadi sarana me-release emosi -secara gamblang dan blak-blakan?
3. Apa yang mereka pikirkan ketika mengepost hal-hal yang bersifat pribadi (secara emosional), yang sebenarnya secara tidak langsung akan membawa spekulasi-spekulasi yang cenderung negatif dari orang yang membaca?
4. Apa mereka bahkan menyempatkan diri untuk menelaah apa yang mereka post pada khayalak?
Saya bosan dengan orang-orang yang demikian.
Banyak mengeluh tentang kesibukan mereka, memberikan komplain atas hal-hal tidak mengenakkan yang menimpa mereka, banyak mengoceh tentang betapa tidak menyenangkan segala kegiatan dan kewajiban mereka, juga tentang hal-hal yang jauh bersifat personal yang tidak seharusnya ditampilkan untuk umum, seperti percakapan-percakapan harian yang sebenarnya bisa dilakukan lewat sms, messenger, atau apapun yang tidak menganggu para followers mereka. Tak jarang juga kata-kata kasar keluar sebagai luapan emosi.
Hah. Mereka pikir yang membaca tweet hanya mereka sendiri? Mereka pikir tidak mungkin orang lain akan memberikan cap jelek pada mereka? belum lagi banyak dari mereka yang difollow oleh orang-orang asing yang memang tidak mengenal mereka secara pribadi, yang cenderung menilai mereka dengan apa yang mereka katakan di tweet.
Jika memang marah-marah di Twitter menjadi pilihan, apa memang itu akan mengubah sesuatu?
Katakanlah mereka menjawab tidak, lalu mengapa tetap memilih untuk mengumpat dan meluapkan kekesalan di timeline?
Melepas emosi? Memberikan kelegaan?
Jika memang demikian, mengapa ketika orang-orang mulai gerah dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi memfollow mereka, kenapa mereka harus kesal dengan fakta berkurangnya followers?
Mengapa orang-orang semakin lucu saja sih?
People should just try to always give values to their tweets, sesederhana apa pun tweet mereka, dalam keadaan semarah apapun. It ain't easy, yes i know. Tapi setidaknya ketika mereka bisa menyadari bahwa mereka tipikal yang tidak bisa menahan diri untuk mengumpat, bisa coba menjauhkan diri dari Twitter. Kecuali, ya, kecuali, mereka sudah bisa tahu konsekuensinya dengan mengumpat: di-unfollow, atau tetap di-follow tapi dibenci secara diam-diam. Opsi kedua yang menurut saya tidak menyenangkan.
You know, ketika mereka menyadari bahwa ada orang yang menginsipirasi lewat timeline mereka, kecil sekali kemungkinan untuk meng-unfollow. They don't unfollow, you don't hate. Twitter would be like what it's actually supposed to be.
Beberapa hari ini, beberapa teman yang saya follow mulai mengisi timeline dengan kemarahan.
Dan kalau saya hanya bicara di sini, toh, sama saja saya menelan ludah sendiri. Sudah saya sampaikan tweet mereka tidak akan mengubah apapun unless mereka memention orang yang mereka benci (jika berkaitan dengan suatu pribadi). Atau setidaknya, mereka memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan setelah mengoceh di Twitter (ketika mengeluh tentang suatu keadaan)
Tapi sepertinya, sama singkatnya dalam "memikirkan" luapan mereka, apa yang saya sampaikan juga sekedar berbunyi sebentar lalu dilupakan.
Saya sering mencoba cara yang kurang etis, menyindir. Beberapa akhirnya "sadar diri" lalu minta maaf, yang lainnya tidak tergugah (atau pura-pura tidak merasa)
Omong-omong, permintaan maaf tidak saya butuhkan. Dirimu sendiri yang harusnya diberikan permintaan maaf karena telah dilabeli dengan "kenegatifan" kata-katamu.
Hahaha.
Apakah saya sendiri memang sebijaksana itu dengan mengkritik mereka seperti ini?
Saya pernah marah, saya pernah mengumpat dan mengutuk-ngutuki seorang yang telah sedemikiannya menganggu hidup saya tanpa me-mentionnya.
Ketika saya baca kembali, saya seolah tidak mengenal si empunya tweet tersebut. Saya malu pada diri sendiri.
Jadi saya pikir, setiap orang sekarang (dengan menyadari bagaimana krusialnya peran tweet dalam penilaian terhadap diri sendiri tersebut) harus bisa menjadi kritis dalam hal yang ingin ia sampaikan.
"Words are more treacherous and powerful than we think" kata Sartre.
Saya jadi ingat seorang teman yang pernah mengatakan bahwa saya termasuk "anak DKV yang jarang banget ngeluh soal tugas di Twitter."
mungkin dengan mengetahui fakta adanya dosen yang kebetulan memfollow balik saya, bisa ia jadikan sebagai alasan utama;
tapi jauh sebelum beliau menjadi follower saya pun, saya berusaha menjadi seorang mahasiswa yang.... sepenuhnya mahasiswa.
Maksud saya di sini,
saya hanya ingin mendalami siapa saya sekarang? Mahasiswa. Mahasiswa desain.
Apa pendapat orang jika mengetahui para mahasiswa desain sekarang hanya bisa mengeluh di Twitter? Hanya bisa melakukan kecurangan untuk beberapa tugas? Lebih suka mengumpat-umpat daripada mengerjakan proyek?
Nama "mahasiswa desain" memang bisa tercoreng, seolah menyatakan secara tidak langsung bahwa mahasiswa desain sekarang tidak lagi profesional, mudah mengeluh untuk proyek di tahun-tahun awal, atau bahkan menyindir-nyindir dosen yang dibenci dengan tidak sopan.
Saya terbiasa memposisikan dosen sebagai "klien", mengikuti dan mempelajari bagaimana mereka "menilai" pekerjaan saya, jadi ketika akhirnya tweet dijadikan para mahasiswa desain (ya, teman-teman saya) sebagai sarana mencaci maki hakikat mereka sebagai mahasiswa (dengan tugas-tugasnya) apalagi mahasiswa desain (dengan tanggung jawab untuk mempertahankan integritas dirinya sendiri).. Saya lebih memilih untuk tidak memperparah kemungkinan terlabelinya kita dengan salah, dengan negatif.
Siapa yang bisa tahu siapa yang benar-benar membaca Timeline kita?
Saya suka perkataan Pandji (@Pandji), benar-benar inti dari celoteh saya kali ini,
"Tweet like everyone in this world is following you. Tweet with a conscious mind."
I wonder how nice life would be if just everyone tried to always keep trying to learn, to figure out the real essence of the existence of things. I'm tired of giving excuses. I am human. I can get annoyed too.
If just only.
If. Just.
Twitter, obviously, telah menjangkiti saya sedemikian kuatnya~ yang enggan saya tambahkan apakah itu baik atau tidak.
Beberapa orang telah dengan luar biasanya menginspirasi saya dengan tweet-tweet mereka, sementara yang lainnya, mengisi timeline saya dengan hal-hal yang membuat saya terus-menerus mempertimbangkan keputusan untuk meng-unfollow mereka.
Ini yang menjadi pertanyaan saya:
1. Kenapa harus mengumpat dan mengeluh di Twitter / Facebook / media sosial lainnya?
2.Apa memang media-media sosial tersebut dimaksudkan untuk menjadi sarana me-release emosi -secara gamblang dan blak-blakan?
3. Apa yang mereka pikirkan ketika mengepost hal-hal yang bersifat pribadi (secara emosional), yang sebenarnya secara tidak langsung akan membawa spekulasi-spekulasi yang cenderung negatif dari orang yang membaca?
4. Apa mereka bahkan menyempatkan diri untuk menelaah apa yang mereka post pada khayalak?
Saya bosan dengan orang-orang yang demikian.
Banyak mengeluh tentang kesibukan mereka, memberikan komplain atas hal-hal tidak mengenakkan yang menimpa mereka, banyak mengoceh tentang betapa tidak menyenangkan segala kegiatan dan kewajiban mereka, juga tentang hal-hal yang jauh bersifat personal yang tidak seharusnya ditampilkan untuk umum, seperti percakapan-percakapan harian yang sebenarnya bisa dilakukan lewat sms, messenger, atau apapun yang tidak menganggu para followers mereka. Tak jarang juga kata-kata kasar keluar sebagai luapan emosi.
Hah. Mereka pikir yang membaca tweet hanya mereka sendiri? Mereka pikir tidak mungkin orang lain akan memberikan cap jelek pada mereka? belum lagi banyak dari mereka yang difollow oleh orang-orang asing yang memang tidak mengenal mereka secara pribadi, yang cenderung menilai mereka dengan apa yang mereka katakan di tweet.
Jika memang marah-marah di Twitter menjadi pilihan, apa memang itu akan mengubah sesuatu?
Katakanlah mereka menjawab tidak, lalu mengapa tetap memilih untuk mengumpat dan meluapkan kekesalan di timeline?
Melepas emosi? Memberikan kelegaan?
Jika memang demikian, mengapa ketika orang-orang mulai gerah dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi memfollow mereka, kenapa mereka harus kesal dengan fakta berkurangnya followers?
Mengapa orang-orang semakin lucu saja sih?
People should just try to always give values to their tweets, sesederhana apa pun tweet mereka, dalam keadaan semarah apapun. It ain't easy, yes i know. Tapi setidaknya ketika mereka bisa menyadari bahwa mereka tipikal yang tidak bisa menahan diri untuk mengumpat, bisa coba menjauhkan diri dari Twitter. Kecuali, ya, kecuali, mereka sudah bisa tahu konsekuensinya dengan mengumpat: di-unfollow, atau tetap di-follow tapi dibenci secara diam-diam. Opsi kedua yang menurut saya tidak menyenangkan.
You know, ketika mereka menyadari bahwa ada orang yang menginsipirasi lewat timeline mereka, kecil sekali kemungkinan untuk meng-unfollow. They don't unfollow, you don't hate. Twitter would be like what it's actually supposed to be.
Beberapa hari ini, beberapa teman yang saya follow mulai mengisi timeline dengan kemarahan.
Dan kalau saya hanya bicara di sini, toh, sama saja saya menelan ludah sendiri. Sudah saya sampaikan tweet mereka tidak akan mengubah apapun unless mereka memention orang yang mereka benci (jika berkaitan dengan suatu pribadi). Atau setidaknya, mereka memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan setelah mengoceh di Twitter (ketika mengeluh tentang suatu keadaan)
Tapi sepertinya, sama singkatnya dalam "memikirkan" luapan mereka, apa yang saya sampaikan juga sekedar berbunyi sebentar lalu dilupakan.
Saya sering mencoba cara yang kurang etis, menyindir. Beberapa akhirnya "sadar diri" lalu minta maaf, yang lainnya tidak tergugah (atau pura-pura tidak merasa)
Omong-omong, permintaan maaf tidak saya butuhkan. Dirimu sendiri yang harusnya diberikan permintaan maaf karena telah dilabeli dengan "kenegatifan" kata-katamu.
Hahaha.
Apakah saya sendiri memang sebijaksana itu dengan mengkritik mereka seperti ini?
Saya pernah marah, saya pernah mengumpat dan mengutuk-ngutuki seorang yang telah sedemikiannya menganggu hidup saya tanpa me-mentionnya.
Ketika saya baca kembali, saya seolah tidak mengenal si empunya tweet tersebut. Saya malu pada diri sendiri.
Jadi saya pikir, setiap orang sekarang (dengan menyadari bagaimana krusialnya peran tweet dalam penilaian terhadap diri sendiri tersebut) harus bisa menjadi kritis dalam hal yang ingin ia sampaikan.
"Words are more treacherous and powerful than we think" kata Sartre.
Saya jadi ingat seorang teman yang pernah mengatakan bahwa saya termasuk "anak DKV yang jarang banget ngeluh soal tugas di Twitter."
mungkin dengan mengetahui fakta adanya dosen yang kebetulan memfollow balik saya, bisa ia jadikan sebagai alasan utama;
tapi jauh sebelum beliau menjadi follower saya pun, saya berusaha menjadi seorang mahasiswa yang.... sepenuhnya mahasiswa.
Maksud saya di sini,
saya hanya ingin mendalami siapa saya sekarang? Mahasiswa. Mahasiswa desain.
Apa pendapat orang jika mengetahui para mahasiswa desain sekarang hanya bisa mengeluh di Twitter? Hanya bisa melakukan kecurangan untuk beberapa tugas? Lebih suka mengumpat-umpat daripada mengerjakan proyek?
Nama "mahasiswa desain" memang bisa tercoreng, seolah menyatakan secara tidak langsung bahwa mahasiswa desain sekarang tidak lagi profesional, mudah mengeluh untuk proyek di tahun-tahun awal, atau bahkan menyindir-nyindir dosen yang dibenci dengan tidak sopan.
Saya terbiasa memposisikan dosen sebagai "klien", mengikuti dan mempelajari bagaimana mereka "menilai" pekerjaan saya, jadi ketika akhirnya tweet dijadikan para mahasiswa desain (ya, teman-teman saya) sebagai sarana mencaci maki hakikat mereka sebagai mahasiswa (dengan tugas-tugasnya) apalagi mahasiswa desain (dengan tanggung jawab untuk mempertahankan integritas dirinya sendiri).. Saya lebih memilih untuk tidak memperparah kemungkinan terlabelinya kita dengan salah, dengan negatif.
Siapa yang bisa tahu siapa yang benar-benar membaca Timeline kita?
Saya suka perkataan Pandji (@Pandji), benar-benar inti dari celoteh saya kali ini,
"Tweet like everyone in this world is following you. Tweet with a conscious mind."
I wonder how nice life would be if just everyone tried to always keep trying to learn, to figure out the real essence of the existence of things. I'm tired of giving excuses. I am human. I can get annoyed too.
If just only.
If. Just.
0 comments