Menoleh ke Belakang
4/23/2010 02:20:00 PM
"bagaimana kalau kita tinggalkan saja agama dan segala omong kosong yang mereka ciptakan, yang mereka bangun di atas tokoh Tuhan yang tak kunjung jelas keberadannya ini? aku memilikimu dan kamu memilikiku. kalau ini dosa dan itu dosa lalu untuk apa ada nikmat? tidak bisakah sebentar kita melupakan semua aturan konyol yang membatasi aku dan kamu. kita satu, bukan?"
tertawa kecil keluar dari bibirnya yang meringis.
ia lalu menoleh dengan matanya menyalak sarkastik,
"kalau begitu bagaimana kalau kita tinggalkan saja segala omong kosong yang kalian, lelaki yang tak menyebut diri kalian lelaki, telah ciptakan. kebohongan yang dibangun di atas kesakralan dengan menginjak-injaknya. ya, cinta, yang terbiasa kamu sebutkan nyaris di setiap akhir persuasi nafsumu."
lelaki itu, balas menyeringai, lalu terbahak-bahak,
"akan aku ingat perkataanmu, dan kamu juga. persetan dengan imanmu. konyol. tak lama lagi pun mungkin kamu akan aku tinggalkan, dan kita akan sama-sama berpaling ke hati yang lain. dan pada saat itu, aku akan kembali menertawakanmu jauh lebih geli daripada sekarang, ketika kamu akhirnya berbisik di antara peluhmu, 'memang tolol dosa itu.'
kita lihat nanti.
dan kamu tentu ingat kita bukan malaikat. sekalipun kotor yang aku sampaikan, toh kamu tak berhak menghakimi aku.
kamu bukan malaikat yang bisa suci sempurna."
di sela usahanya menahan tangis kekesalan, ia membuka mulutnya. kedua tangannya mengepal hingga gemetar.
"tapi aku mau hidup BUKAN KARENA MANUSIA. tak suci aku, tapi hatiku yang akan membawa aku mengenal kebenaran, dan tentunya bukan dari mulutmu, atau dari mulut-mulut mereka yang sama denganmu!"
"ya, kau memang tolol. memang benar lidah berkuasa. dan kalian wanita konservatif, jangan sebut aku ateis dengan mengata-ngatai prinsipmu, coba tengok duniamu sekarang! kau pikir kau akan bertahan dengan pikiran kolotmu itu?
memang benar kata mereka, aku akan meninggalkanmu dengan segera.
dan tentang cinta yang pernah aku ucapkan, itu memang cinta. tapi mungkin kita terlanjur mendefinisikannya secara berbeda."
ia menggigit bibir bawahnya keras-keras. ia benci bertarung dengan harga dirinya sendiri, yang dipertaruhkan melalui kekuatan hatinya sebagai perempuan.
ia sudah membuka mulutnya, menyiapkan argumen, yang sebenarnya ingin ia maksudkan, 'tolong jangan pergi." namun kembali lagi ia dicemeti suara kecil dari dalam hatinya yang menyuarakan kebenaran dalam kebisingan emosinya.
maka ketika matanya sudah mulai basah,
si lelaki membalikkan badan, meraih jaketnya yang masih tercium bau alkohol, lalu melenggang melalui pintu.
di lorong itu ia berjalan sendiri dengan pikiran-pikiran yang membludak dalam kepalanya, yang menulikannya dari suara isak tangis dari balik pintu yang baru ia tinggalkan.
sambil mengeluarkan bungkus rokok dari kantong jins tua nya, mencari-cari pematik di sela-sela kantong,
ia bergumam perlahan, "mungkin memang kekasihku ada di generasi yang salah."
tertawa kecil keluar dari bibirnya yang meringis.
ia lalu menoleh dengan matanya menyalak sarkastik,
"kalau begitu bagaimana kalau kita tinggalkan saja segala omong kosong yang kalian, lelaki yang tak menyebut diri kalian lelaki, telah ciptakan. kebohongan yang dibangun di atas kesakralan dengan menginjak-injaknya. ya, cinta, yang terbiasa kamu sebutkan nyaris di setiap akhir persuasi nafsumu."
lelaki itu, balas menyeringai, lalu terbahak-bahak,
"akan aku ingat perkataanmu, dan kamu juga. persetan dengan imanmu. konyol. tak lama lagi pun mungkin kamu akan aku tinggalkan, dan kita akan sama-sama berpaling ke hati yang lain. dan pada saat itu, aku akan kembali menertawakanmu jauh lebih geli daripada sekarang, ketika kamu akhirnya berbisik di antara peluhmu, 'memang tolol dosa itu.'
kita lihat nanti.
dan kamu tentu ingat kita bukan malaikat. sekalipun kotor yang aku sampaikan, toh kamu tak berhak menghakimi aku.
kamu bukan malaikat yang bisa suci sempurna."
di sela usahanya menahan tangis kekesalan, ia membuka mulutnya. kedua tangannya mengepal hingga gemetar.
"tapi aku mau hidup BUKAN KARENA MANUSIA. tak suci aku, tapi hatiku yang akan membawa aku mengenal kebenaran, dan tentunya bukan dari mulutmu, atau dari mulut-mulut mereka yang sama denganmu!"
"ya, kau memang tolol. memang benar lidah berkuasa. dan kalian wanita konservatif, jangan sebut aku ateis dengan mengata-ngatai prinsipmu, coba tengok duniamu sekarang! kau pikir kau akan bertahan dengan pikiran kolotmu itu?
memang benar kata mereka, aku akan meninggalkanmu dengan segera.
dan tentang cinta yang pernah aku ucapkan, itu memang cinta. tapi mungkin kita terlanjur mendefinisikannya secara berbeda."
ia menggigit bibir bawahnya keras-keras. ia benci bertarung dengan harga dirinya sendiri, yang dipertaruhkan melalui kekuatan hatinya sebagai perempuan.
ia sudah membuka mulutnya, menyiapkan argumen, yang sebenarnya ingin ia maksudkan, 'tolong jangan pergi." namun kembali lagi ia dicemeti suara kecil dari dalam hatinya yang menyuarakan kebenaran dalam kebisingan emosinya.
maka ketika matanya sudah mulai basah,
si lelaki membalikkan badan, meraih jaketnya yang masih tercium bau alkohol, lalu melenggang melalui pintu.
di lorong itu ia berjalan sendiri dengan pikiran-pikiran yang membludak dalam kepalanya, yang menulikannya dari suara isak tangis dari balik pintu yang baru ia tinggalkan.
sambil mengeluarkan bungkus rokok dari kantong jins tua nya, mencari-cari pematik di sela-sela kantong,
ia bergumam perlahan, "mungkin memang kekasihku ada di generasi yang salah."
0 comments