cermin yang belum retak
3/22/2010 08:26:00 AM
sebagaimana langit yang terbiasa untuk terbuka bagi mereka yang menengadah dengan menutup mata, mencari jawaban di tiap akhir tanda tanya mereka atas segala keajaiban,
ia tidak mengelukan lidah di hadapan mereka yang melincahkan kata cela dan praduga yang mereka anggap sebagai sebuah kebijaksanaan.
ia hanya bisa mengolok di dalam hatinya yang telah dikeruhkan oleh stereotip mereka,
ia akan menertawakan mereka dalam diam, melihat kekonyolan yang berasal dari penggabungan jiwa dan raga yang mengaku memiliki iman namun dengan mudahnya dibuat gelisah oleh persepsi yang meluncur dari mulut manusia yang mempertanyakan eksistensi Tuhan.
ia bisa menjejerkan cermin-cermin besar ke hadapan mereka, cermin-cermin substitusi atas pegangan mereka yang tanpa mereka sadari sudah keburu melelah. yang ia tujukan adalah refleksi nyata mereka yang bersinonim kebengisan;
kebengisan akan keabsurdan yang mereka timpakan pada kebenaran yang harusnya mereka jadikan pematik dalam kelamnya keragu-raguan banyak kepala lainnya, yang hingga kini masih mempertanyakan jika terang bisa datang;
kebenaran yang lagi-lagi diakhiri dengan penghujatan akan Tuhan mereka ,
semata karena lidah fana yang terbiasa mendesiskkan kemegahan manusiawinya. rahasia yang semua orang perbincangkan dalam percakapan pribadi dengan pikirannya sendiri.
dan seperti layaknya khayalan-khayalan yang tergelak di antara sentakan-sentakan yang mengakhirinya,
ia merasa geli dan hanya berusaha menahan tawa ketika mereka mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu disisipi kata 'percaya', 'jalan', dan 'kebenaran' yang mereka maksudkan menjadi sebuah persuasivitas etika;
namun
ia cerna sebagai umpan yang bisa meninju balik mereka, yang memperdagangkan kepenuhan hidup manusia lainnya yang terlalu krusial untuk diputarbalikkan.
maka ketika mereka merajamnya dengan kutukan atas dasar estimasi abstrak mereka tentang keagungan dan ke-maha-daya-an, semakin ia sulit menahan tawa atas kerendahan-kerendahan yang mereka peralat untuk meninggikan diri mereka sendiri.
dan di cermin yang masih ia genggam, ia mengusap debu yang terlalu pekat. masih transparan hatinya, dan akan mebobotkan diri ketika jernih bayangan akan dirinya sendiri.
"Setidaknya", bisiknya, "cerminku belum retak."
ia tidak mengelukan lidah di hadapan mereka yang melincahkan kata cela dan praduga yang mereka anggap sebagai sebuah kebijaksanaan.
ia hanya bisa mengolok di dalam hatinya yang telah dikeruhkan oleh stereotip mereka,
ia akan menertawakan mereka dalam diam, melihat kekonyolan yang berasal dari penggabungan jiwa dan raga yang mengaku memiliki iman namun dengan mudahnya dibuat gelisah oleh persepsi yang meluncur dari mulut manusia yang mempertanyakan eksistensi Tuhan.
ia bisa menjejerkan cermin-cermin besar ke hadapan mereka, cermin-cermin substitusi atas pegangan mereka yang tanpa mereka sadari sudah keburu melelah. yang ia tujukan adalah refleksi nyata mereka yang bersinonim kebengisan;
kebengisan akan keabsurdan yang mereka timpakan pada kebenaran yang harusnya mereka jadikan pematik dalam kelamnya keragu-raguan banyak kepala lainnya, yang hingga kini masih mempertanyakan jika terang bisa datang;
kebenaran yang lagi-lagi diakhiri dengan penghujatan akan Tuhan mereka ,
semata karena lidah fana yang terbiasa mendesiskkan kemegahan manusiawinya. rahasia yang semua orang perbincangkan dalam percakapan pribadi dengan pikirannya sendiri.
dan seperti layaknya khayalan-khayalan yang tergelak di antara sentakan-sentakan yang mengakhirinya,
ia merasa geli dan hanya berusaha menahan tawa ketika mereka mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu disisipi kata 'percaya', 'jalan', dan 'kebenaran' yang mereka maksudkan menjadi sebuah persuasivitas etika;
namun
ia cerna sebagai umpan yang bisa meninju balik mereka, yang memperdagangkan kepenuhan hidup manusia lainnya yang terlalu krusial untuk diputarbalikkan.
maka ketika mereka merajamnya dengan kutukan atas dasar estimasi abstrak mereka tentang keagungan dan ke-maha-daya-an, semakin ia sulit menahan tawa atas kerendahan-kerendahan yang mereka peralat untuk meninggikan diri mereka sendiri.
dan di cermin yang masih ia genggam, ia mengusap debu yang terlalu pekat. masih transparan hatinya, dan akan mebobotkan diri ketika jernih bayangan akan dirinya sendiri.
"Setidaknya", bisiknya, "cerminku belum retak."
0 comments