i got this sex-appeal and once we agree you may pay it by commitment on delivery

5/01/2014 11:12:00 PM





Saya lebih suka nonton orang tonjok-tonjokan dan adu-tembak daripada harus nonton sepasang manusia yang menanggalkan sebagian sinapsis otaknya demi melanggengkan satu plot percintaan. Hal yang paling konyol untuk dituliskan, lagi, di usia 22 adalah perkara hubungan. Saya kira sebuah tanya-jawab yang paling jujur tentang status hubungan semestinya terjadi dengan skenario seperti ini:


"What's your current relationship status?"
"Well, frankly, transactional."

-

Pasangan saya, yang paut usianya cukup menjarakkan generasi di antara kami berdua, pernah meledek sewaktu emosi saya sedang labil-labilnya: "Kamu mah nyanyiinnya Twenty-Two Taylor Swift aja sana." Meski super-menyebalkan karena liriknya hanya berisi kumpulan ilusi perempuan kelas menengah dari negara maju dan bikin tepok jidat, saya rasa, setidaknya setiap orang mestinya bisa belajar mendendangkan 22 Talyor Swift sebagai lelucon penghibur diri yang mendekati mujarab. Menertawakan bekas kekasih, menghabiskan kudapan di tengah malam, naksir orang tak dikenal, dan segala kegirangan hidup yang terlepas dari segala tuntutan untuk menyambut hari esok dengan satu hal konyol: meningkatnya daya-jual diri. 

Kira-kira begini: jika dengan jujur dirincikan apa yang kita perlakukan pada diri sendiri sejak bangun tidur sampai tidur lagi, seperti membersihkan tubuh, merawatnya, memperindahnya, mengenakan pakaian yang membentuk tubuh dan penampilan lebih menarik, menata rambut, memilihkan alas kaki yang paling tepat, mengenakan wewangian, meraih gelar pendidikan ini dan itu, bekerja dan menapaki karir, mengisi waktu luang dengan mendengarkan musik, membaca buku, menonton film-film bagus, menonton konser, mengikuti seminar, hang out ke mal, menjadi kupu-kupu sosial, melatih kemampuan komunikasi agar nampak impresif, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya; saya tersadar bahwa seluruh proses itu mengerucutkan manusia (atau setidaknya, diri saya sendiri) dalam satu pertanyaan eksistensial yang dangkal:
"How much have I attracted the opposite sex today?"

Hubungan manusia yang paling janggal terpeleset dan tersangkut ke dalam seluruh proses itu:
hubungan manusia tak lebih dari sebuah hubungan transaksional; dan kita tak pernah benar-benar memiliki kesiapan untuk menghadapinya.

Butuh berbulan-bulan untuk kembali mengafirmasi bahwa pada kenyataannya, masih ada manusia yang benar-benar bepikir bahwa kehidupannya akan terhenti jika ia tak sanggup beranak-pinak (secara biologis maupun sosiologis) atau ketika ia tak kunjung menekan kontrak sosial bernama lembaga pernikahan pada usia yang entah untuk siapa ia tentukan. Atau kalau mau jujur lagi, masih ada manusia yang terlalu memusingkan apa kata orang kalau ia tak kunjung punya pacar, tak kunjung menikah, tak kunjung punya anak, tak kunjung punya properti ini dan anu, dan tuntutan sok-ngatur-hidup-orang lainnya. Sehingga, dari setiap pilihan yang dilakukan dalam hidupnya, ia lakukan untuk satu tujuan: untuk menarik perhatian lawan jenis. Persis seperti tingkah pola binatang untuk menarik perhatian lawan jenisnya agar terlibat dalam proses yang mengakibatkan pembuahan dan keberlangsungan spesiesnya, manusia yang terjebak dalam konsep bahwa kehidupannya cukuplah tereduksi saja dalam afirmasi pikat lawan jenis menjalani kehidupan sehari-harinya dengan cara demikian.

Saya bicara setelah cukup dibikin eneg oleh beberapa dari mereka yang bertumbuh dan hidup dengan latar belakang kelas sosial menengah; yang oleh karena setiap harinya tak perlu terlalu pusing memikirkan cara mempertahankan kebutuhan hidupnya yang paling dasar, mereka mendayagunakan mesin-pikirnya untuk memperoleh kesenangan-kesenangan tambahan. Pembuktian akan kemampuannya untuk membeli tentu menjadi salah satu utamanya; dan kemampuan untuk memiliki adalah bentuk turunannya.
Dan yang terutama: kemampuan memikat lawan jenis yang dianggap sejajar nilai tukarnya.
Semacam bentuk implementasi kuasa-memiliki yang paling subtil.

Abaikan saja kenyataan tentang hubungan Bruce dan Fabienne yang sebenarnya -bukan jenis hubungan yang hendak dikaji di sini. Hanya kebetulan capture adegan pada gambar ilustrasi di atas memang lumayan kece untuk mengantar.

Sejujurnya saya benci untuk mengamini apa yang ditulis Erich Fromm sejak dekade 50-an: bahwa dalam kondisi masyarakat yang dibangun oleh hasrat untuk membeli dengan konsep pertukaran yang saling menguntungkan (favorable exchange), ketertarikan antar manusia lebih menyerupai sebuah proses pertukaran komoditas. (two persons thus fall in love when they feel they have found the best object available on the market considering the limitations of their own exchange value).

Buat saya, yang paling mengerikan dari suatu hubungan personal antar dua manusia jelas bukan pelbagai bentuk kegalauan yang niscaya, namun romansa yang irasional hingga menghilangkan kedirian keduanya. Alih-alih menyatukan kedirian keduanya dalam satu hubungan yang lebih sakral, orang-orang yang menikah karena ketakutannya akan kesendirian dan omongan orang atau tuntutan tak masuk akal terhadap dan dari dirinya sendiri, hanya membawa kedua manusia dalam ketak-adaan sama sekali.

Suatu ketika, saya mengenakan setelan pakaian yang lumayan jadi favorit saya. Setelah merasa puas dengan ritual memanut-manut diri di cermin, saya melanjutkan aktivitas harian saya. Waktu itu, pikiran saya masih dituruti pemahaman di jaman kuliah: mau cuma pakai kutang asal otaknya waras dan kerjaannya beres, jelas bukan perkara yang menghancurkan martabat manusia. Yang mengejutkan, seorang kenalan berkomentar:
"Bajumu cantik banget hari ini. Pasti mau pergi kencan!"
Detik itu saya merasa dijerumuskan ke dalam mesin waktu yang perputaran tuasnya mengantar saya pada tahun-tahun adolescence, tahun-tahun sebelum akil balik, tahun-tahun sebelum otak saya bisa bekerja dengan benar: dengan lebih dewasa dan lebih masuk akal. 

Tidakkah mengerikan bahwa cara pandang kita terhadap diri sendiri didera oleh kompromi pemahaman bahwa pilihan kita terhadap diri sendiri seluruhnya dipersembahkan untuk menarik lawan jenis, dan sama sekali bukan karena diri sendiri? 
Saya suka memilih-milih baju mana yang paling pas dan bagus dikenakan pada hari itu. Tak ada acara khusus. Sesekali saya pergi menonton bioskop, duduk-duduk di kedai kopi, atau makan sendirian dengan mengenakan pakaian yang saya rasa bagus saya kenakan hari itu -- semata-mata karena saya merasa nyaman dengan diri saya sendiri. Juga bukan dengan alasan supaya ada lawan jenis yang tertarik dan mengajak bicara dan sebagainya. Sesekali memang saya memilih baju-baju khusus untuk pergi kencan, tapi yang jelas, jarang sekali saya merasa butuh afirmasi dari pasangan bahwa saya tampil menarik saat itu.


Kenyataan yang paling absurd kalau sedang kebetulan jalan ke mal atau menjumpai orang-orang sejenis itu di tempat-tempat lainnya: seorang laki-laki yang punya daya-jual berbentuk finansial yang mumpuni melakukan transaksi hubungan dengan seorang perempuan yang berdaya-jual yang telah ia bentuk sedemikian rupa yakni penampilannya yang appealing. Keduanya terlibat dalam kesepakatan (itu contoh yang stereotipikal saja, meski memang masih ada saja yang seperti itu), berupa relasi pacaran. Begitu dilihatnya bahwa daya-jual dari masing-masing mereka menemukan pertukaran yang seimbang, maka urusan pembayaran tinggal menggunakan metode CoD saja. Commitment on Delivery.

Meski transaksi hubungan semacam itu tak seharusnya jadi satu-satunya pertimbangan,  apakah yang bisa lebih absurd daripada pernikahan yang dilandasi hanya karena cinta (di mulut) saja tanpa pernah memikirkan persiapan kebutuhan atau setidaknya upaya untuk memenuhi keberlangsungan hidup keduanya sebagai pemegang kendali rumah tangga itu sendiri? Jawabannya adalah mereka yang telah menyusahkan dirinya sendiri untuk mencapai satu kondisi di mana daya jual yang jadi tren pasar saat itu sehingga merasa dirinya pantas untuk mendapatkan rekan transaksi dan mengeneralisasi bahwa setiap orang yang ia temui memang ingin dinilai sebagai etalase yang tengah menjajakan dirinya dalam bursa transaksi. Itu juga berhasrat menikah atau punya pasangan karena malu sama apa kata orang. Ngok. Kesehariannya memaksimalkan diri hanya dapat menjelma paripurna hanya dengan hitung-hitungan: berapa banyak lawan jenis yang bisa gue taklukkan?

Suatu waktu jika ada yang bertanya, "Kenapa sih lo gak dandan begini begini, gak bergaya begini begini; cowok/cewek mana suka yang kayak begitu."
Jawabi sajalah, seluruh makna eksistensialmu tak dinilai dari berapa banyak lawan jenis yang bisa ditundukkan.

Saya sendiri tak begitu tertarik untuk mengikat kontrak dalam lembaga pernikahan, meski saya menghormati mereka yang mendambakannya. Dan oleh karena saya menghormatinya, tulisan ini bukan sebuah pernyataan ad hominem atas orang-orang yang (setidaknya saya kenal) menikah karena proses jual-beli di lingkungan sosialnya. Kejengahan, saya yakini, harus menemukan jalan pintasnya dari keinginan untuk melayangkan tinju ke wajah orang-orang yang menyematkan nilai manusia hanya pada daya pikatnya terhadap lawan jenis.

Agak sedikit sok-iye dengan mengutip Emma Goldman: 
Marriage is primarily an economic arrangement, an insurance pact. It differs from the ordinary life insurance agreement only in that it is more binding, more exacting. Its returns are insignificantly small compared with the investments. In taking out an insurance policy one pays for it in dollars and cents, always at liberty to discontinue payments.

Dan orang-orang yang merasa dirinya cukup cerdas semestinya mulai belajar merendahkan kepalanya untuk menyadari bahwa nilai manusia dan seluruh eksistensinya tak dapat dinilai hanya dari seberapa banyak lawan jenis terpikat untuk memilikinya atau setinggi apa nilai jual pasangan yang dapat dimilikinya (yang dinilai hasilnya dari dia kawinnya sama siapa, dapetnya yang kayak apa, nanti hidupnya seenak apa).

Some people do want to get married and some people don't. Bisa saja saya termasuk dalam kategori yang kedua, maupun yang pertama; namun yang jelas saya lebih suka menilai orang dan menghormati mereka dengan standar-standar yang tak sedangkal parameter daya pikat dan nilai tukar seperti menilai komoditas pasar atau etalase pertokoan. Sekedar pengingat kecil saja kalau-kalau bertemu dengan mereka yang, misalnya membaca buku-buku keren atau menulis dengan kece atau bisa menghadiahkan banyak-banyak barang, dan merasa bahwa mereka berhak menundukkanmu karena selling-positionnya itu.


You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe