untuk perempuan yang kupinjamkan sebentuk tubuh

2/20/2014 08:58:00 AM



aku tak pernah ingat kau pernah bercerita tentang senja yang berakhir di langit timur. aku hanya menyimpan sebuah pengetahuan tentang suaramu yang membantahi tubuh berusia duapuluhdua tahun yang bukan milikku lagi saat ini. saat ini, untuk sementara waktu dengan masa yang tak dapat kita sematkan numerik terhadapnya, tubuhmu yang sedang bukan tubuhku lagi. suaramu mengingatkanku pada kanak-kanak yang mengayuh sepedanya begitu jauh, pada mulanya di antara rumput dan dahan-dahan lunak, hingga kemudian begitu enggan menyusur kembali setapak yang ia bekaskan untuk pulang. kanak-kanak yang menikmati keterpasahannya di dalam rongga kepalaku. suaramu yang kurasa juga meminjam suara kanak-kanakku merambat dari lapangan udara di ujung pulau pada suatu pagi yang terlalu dini. aku belum sempat menyeduh kopi ketika kau terus mengulang bahwa september telah bermurah hati membawamu terbang menjemput matahari. kuterka kau begitu ingin melonjak namun tubuh yang kupinjamkan padamu tetap patuh pada kegemarannya untuk berdiam di sudut ruang. suara kanak-kanakmu terus menceritakan bahwa tubuh yang kupinjamkan untuk pertama kalinya merasai duduk di atas dua ribu kaki ke arah terbit matahari. apakah tubuh itu masih setia menyisa wangi vanili?

pada suatu sore aku merapikan beberapa pakaian yang menutupi hampir separuh dari tempat tidurku. melipat dan menyusunnya satu per satu tanpa mencium lagi bau tubuhku sendiri yang baru kusadari beberapa tahun belakangan ini rasanya seperti melemparku pada lubang yang udaranya menyimpan sebuah kelenturan. merasai gravitasi merenggutmu lalu menghempasmu dalam tolakannya yang pegas; menarik dan menolakmu lagi dalam pola longitudinal yang tak beraturan begitu janggal. sebuah perasaan ganjil yang mereka kembali dengung sore yang menjalar setelah aku membanting pintu dan melihat onggokan rak buku yang menasbihkan ketakutuhannya di samping ranjang bekas kekasihku pada sebuah pertengkaran. aku merenggut buku-bukuku tanpa belai yang sama dengan saat aku menyusunnya. dengung ganjil itu menyahuti amarah, memberati hentak sepasang kaki yang membawaku pergi, kaki yang sama dengan yang menghampiri bekas kekasihku kembali. dengung sore yang menekan kuat-kuat rongga dada sejelas hantaman imajiner yang berkeras memutus mata rantai ingatan di derapnya namun naas.

dalam kondisi perasaan yang tak dapat kujelaskan inilah aku menulis untukmu. barangkali aku merindukan tubuh yang sedang kupinjamkan padamu itu, atau aku hanya menegaskan bahwa aku memang tak pernah benar-benar belajar untuk tak mengikatkan diri pada apa-apa. pagi ini kusadari kota begitu bising hingga aku hanya ingin kembali ke sudut kamar; mungkin memikirkan kemungkinan-kemungkinan remeh temeh tentang kehidupan yang sengaja kupusing-pusingkan sambil mempertahankan pikiran bahwa aku memang memiliki pilihan untuk tak terlibat di dalamnya; apapun caranya. mungkin meminjamkan tubuh padamu, salah satunya. tapi aku, seperti terlatih untuk tak merasa malu karenanya, telah berdusta sejak malam kupinjamkan tubuhku padamu. lewat satu jam, satu hari, satu minggu, hingga berbulan-bulan tubuh itu tak menjadi milikku untuk sementara waktu, yang ingin kulakukan hanya mengamatinya bertingkah laku di tiap liku. mengamatimu.

aku tak pernah bisa tidur dengan baik sejak malam kupinjamkan tubuhku padamu di taman itu. aku seperti masih bisa merasai tubuhku sendiri yang meremang dalam getar nan kasat ketika kau dengan tubuh itu menyambut ciuman sembunyi-sembunyi seorang lelaki yang menyambuti makian perihal puisi yang demi tuhan kau benci setengah mati. duapuluhdua tahun usianya namun aku seperti tak pernah mengenal tubuhku sendiri yang memantulkan ranum purnama dari sudut-sudut kamar hotelmu. tubuh itu tak pernah memikirkan rencana melipat malam dalam selimut dan karpet tanpa tuan yang tetap; tapi kamu dengan tubuh itu ingin pulang dengan lelakimu. duapuluhdua tahun usianya namun aku seperti tak pernah benar-benar mengakui bahwa tubuhku akan pernah sanggup bersedia. dan dari tubuh itu aku tahu bahwa kau bergidik mengingat kekasihmu, tapi tubuh laki-laki di hadapanmu mengaburkan ingatan tentang tiap kecupan dan perasaan yang terlalu samar untuk dibendakan. kau mungkin lebih mengkhawatirkan payudaramu yang tak bagus-bagus amat untuk dilihat, namun lelakimu ternyata lebih dulu memulai percakapan dengan pertanyaan ke arah mana tubuhmu, tubuh itu, menghadap ketika kau tidur sebab payudaramu akan menurut pada sidekap kasur yang menekannya secara rutin. selagi lelakimu kemudian mendikte jari-jarinya di keliling tepi lingkar kedua aerolamu, ia kurasa tak lagi memusingkan payudara sebelah mana yang lebih besar. dan kau, juga tak lagi memusingkan kekasihmu yang meninggalkan panggilan-panggilan tak terjawab.

pada pertemuan dua tubuh yang asing itu aku menyaksikan tubuhku menjelma seonggok daging yang meregang di antara pemiliknya yang nihil: tubuhku bukan aku juga tubuh itu bukan kamu dan ia hanya kumpulan otot daging dan lemak yang bekerja dengan otonomi biologisnya sendiri.

aku tak ingin membencimu yang kini mengenakan tubuhku yang untuk sementara waktu memang bukan tubuhku lagi. menyaksikan tubuh itu mendekap dan meluruh, merengkuh pasif atau mencengkeram dengan agresif, membuang ludah sisa-sisa mani lelakimu atau mengulum campuran ludah dari lidah-lidah kalian aku tak peduli. aku juga tak ingin membencimu yang dengan tubuh itu mengumbar omong-omong kosong yang kalian kumpulkan untuk mengisi langit-langit kamar hotel. meski pikiran bahwa dinding dan karpetnya mulai belajar mengenali aroma peluh tubuh lelakimu dan tubuh itu cukup menggangguku.

aku membencimu karena dengan tubuh yang kupinjamkan padamu itu malah membuatku mengingat pelajaran untuk menyimpan perasaan. mungkin benar apa yang lelakimu tuduhkan padamu juga, bahwa aku telah terlalu banyak menyediakan ruang untuk remeh temeh: penjaga kios buku yang memergoki ciuman kalian, denting lift, bau karpet di selasar, pemanas air yang mengeluarkan asap, pendingin ruangan yang suhunya tak pernah tepat, bercak darah menstruasiku, jumlah gerigi sisir lelaki yang tubuhku patahkan, atau jumlah korek api gas yang lelakimu hilangkan dalam seminggu.

"aku tak pernah memikirkan perasaan," ujar lelakimu, "aku lebih suka berkencan dengan satu perempuan ke perempuan lain, sebab tubuhku menyukainya."
"begitu pun tubuhku," ujarmu yang ingin kusergah namun urung, "aku menyukai rasanya mengendapkan rindu tubuhku akan tubuhmu, tapi kita memang tak perlu memikirkan perasaan-perasaan."

lalu tubuh itu menggenapkan setiap perasaan yang kalian pikir alpa. entah pada dada laki-lakimu atau pada dada tubuh itu. barangkali kita memang harus mulai memikirkan beberapa frasa oksimoron seperti orgasme yang buruk, luka-luka cakar yang nikmat, atau cinta yang kebas. aku seperti merasai diriku mengendur dalam cekat masa yang begitu nisbi. aku berhenti menulis. namun tubuhku itu masih begitu lincah mengulum dan memuntahkan sajak-sajak yang entah siapa penikmatnya. benar aku tak peduli apa yang kau hendaki pada tubuh itu, tubuh yang mengingatkanku tentang perasaan yang ternyata mampu bertahan meski terlepas dari ritme fisikalnya, yang sedang bukan milikku lagi. sungguh aku tak ingin membencimu, namun sentimental menyisakan kesempatan bagi yang berlawanan untuk berdampingan: hasrat dan kebencian.

dan aku masih tekun menyaksikan setiap senggama yang kalian lantunkan di sela-sela kebencian dan makian. tubuh itu menikmatinya. endorfin tetap gesit berloncatan hingga meluap menempati sisa keringat di seprai lelakimu. dan ketika aku menyeduh kopiku dini hari tadi dan membasahi tanganku sendiri dengan air mendidih tanpa merasa nyeri, aku menginginkan tubuh itu lagi. seperti hasrat dan rasa yang mampu berjalan dalam keterpisahannya, barangkali aku juga lebih menginginkan luka yang mengganda dari jalinan keduanya.

seperti lelakimu yang menyediakan jenuh pada tubuh, kau mungkin juga bersedia untuk jemu pada tubuh itu. pada saat itu, aku ingin memintanya untuk kembali kujamu, sebelum kau keburu meminjamkannya lagi pada perempuan lain yang akan kau turut benci juga kemudian.  **



You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe