sebuah purnama yang tenggelam; di tengkukmu
4/28/2013 10:41:00 PM
Sebelum habis pasang laut mengantarku pulang ke penghujung pelukan yang begitu jauh, bersedia kau dengarkan sebuah cerita yang hanya bisa kau dapati pada malam-malam yang hanya dikenangi silau purnama dari balik bilikmu? Sebab sekali kuingat cerita ini, hanya dengan rahasia kututurkan padamu sewaktu kita berkunjung di desa ini.
*
Pada sebuah purnama, seorang laki-laki asing datang berjalan sendirian. Di sini, di desa yang tengah kita singgahi ini. Ia akan menggumam dan melafalkan kisah-kisah yang dibacanya dari banyak kitab – yang telah dicurinya dari perjalanan yang telah ia lalui. Cerita-ceritanya berasal dari banyak persinggahan : suka cita perahan sapi, jarahan dari para nelayan, bunga-bunga yang mekar di permukaan tanah, atau perkabungan seorang saudagar, serta segala nyanyian tentang cinta dan kehilangan. Ia memanggul banyak tuturan yang dikumpulkannya dari banyak langkah kaki yang telah dihabiskannya. Ia bawa di punggung dan pundaknya yang padat terpantul di serat-serat kayu dan kolam-kolam.
Demikian laki-laki itu pada setiap purnama akan pergi berjalan-jalan dan menasbihkan sejumlah orang-orang yang berpura tak mendengarnya berkata-kata. Dari jauh ia akan bercerita – tentang apa saja – dan gadis-gadis dari balik tungku yang menyembunyikan raut mereka akan menghentikan segala pekerjaannya. Diam-diam, dalam endap, selalu mereka kenang suara laki-laki asing itu. Barangkali, di setiap desa ia singgah: di bukit-bukit juga lembah, pegunungan serta pesisir. Atau barangkali, hanya di pesisir ini saja ia gemar mampir.
Tak pernah ada yang tahu dari mana asalnya. Hanya getar suaranya yang membayangi setiap purnama di desa ini. Ia tak pernah tinggal. Pada beberapa purnama laki-laki itu menampakkan dirinya dalam keasingannya. Tak akan kau jamah rupanya, atau hirup harum tubuhnya, atau pandangi pori-pori kulitnya. Ia tak pernah menyapa siapa-siapa; hanya bercerita – dari kejauhan. Tak pernah ia mampir mengetuki pintu rumah-rumah yang barangkali akan bersedia menyajikannya beberapa cangkir air hangat. Ia terus bercerita dalam jalan-jalannya sampai habis setapak mengiringi langkahnya.
Laki-laki asing itu, yang tak dibiarkannya diketahui namanya – juga rupanya. Hanya suaranya yang menetap dan menjadikan desa itu – atau desa-desa lainnya juga - sebagai rumahnya.
Sebuah cerita lainnya juga beredar tentang laki-laki asing itu. Seorang gadis yang begitu gila memikirkan suaranya mengaku dapat mengenalinya. Begitu kau dengar derap kakinya dari perbatasan sejak senja mulai memerah, katanya, kau tinggal menyingkir ke pinggir jendelamu barang sebentar. Akan kau lihat laki-laki itu – dapat kau bedakan dari yang lainnya. Ia berjalan sendirian. Dapat kau saksikan seluruh tubuhnya – yang memanggilmu untuk sebuah keinginan untuk memeluknya. Laki-laki itu memakai terang purnama serupa baju zirah. Kasutnya menyala-nyala; dan mungkin kau juga akan percaya bahwa aksaralah yang membawa langkah-langkahnya untuk terus bertambah.
Sebagian mempercayai cakap gadis itu, sebagian percaya ada yang salah dengan jiwanya. Sering pada malam-malam purnama ia mengerang di dipannya. Katanya ia dengar suara laki-laki itu, meski belum juga muncul suara yang dikenali warga. Juga tak semua percaya tentang adanya gadis itu. Hanya mereka percaya, jika kau gadis, tak akan habis suara laki-laki asing itu bergemaan di sela sanggurdimu. Kain-kain di tubuhmu ingin melucuti dirinya sendiri, dan suara laki-laki itu – meski telah jauh derap kakinya – lebih suka tinggal di lekat cokelat kulitmu. Hanya jika kau gadis.
Hanya jika kau gadis.
*
Di desa ini, Kasihku, jika kau gadis dan mendamba laki-laki untuk mendampingimu, kau harus berpura bahwa kau tak ingin. Juga jika laki-laki itu juga ternyata menginginimu; kau harus berpura bahwa kau menginginkan seorang pemuda lain begitu melebihinya. Hingga ia bawakan kau ikan yang lebih besar dari seekor yang pernah ditangkap seorang penatua di desa ini, baru kau turuti orang tuamu: laki-laki ini yang kau mau. (Meski tak semudah itu mengucapkannya pada masa itu.)
Karenanya, di desa ini, Kasihku, jika kau gadis dan mendamba laki-laki, kau harus berpura tak memikirkannya sepanjang hari. Jangan pula kau sebut-sebut terus namanya, mengenang rupanya, lekuk tubuhnya, atau memikirkan yang bukan-bukan (:bukan-bukan, bagi orang-orang di desa ini, pada masa itu, kau tahu.) Hingga kau menikah dan tak lagi kau gadis, baru bisa kau puja sosok laki-laki yang membaringkanmu ke atas dipan; dan barang tentu tak perlu kau pamerkan ke tetanggamu lainnya.
Dan laki-laki asing itulah, penyihir para gadis di desa ini. Kisah tuturannya serupa nyanyian, lembut dan memabukkan. Gadis-gadis ini mulai menerka mengapa tak berhak mereka ucapkan pemuda yang didambanya. Memang tak perlu juga mereka sebut namanya laki-laki asing itu, namun mereka memiliki masing-masing bayangan mereka tentang rupanya. Punggungnya barangkali adalah citera tentang halaman belakang yang tak mereka miliki di balik bilik mereka. Juga gurat-gurat rahangnya dan leher yang bergerakan seiring tuturnya. Dan kau bisa mengerti mengapa begitu tinggi yang mereka gambarkan tentang bibirnya – juga lidahnya – yang menyemai begitu banyak nyanyian, bahkan tentang kesenduan.
Jika kau gadis, kau membayangkan juga rasanya. Di kulitmu. Barangkali, hingga bertahun-tahun, hingga cerita ini dengan segala kebetulannya kau dengar dan kau percaya.
*
Ada alasan mengapa kisah ini tak akan lagi kau dengar suka-suka, meski telah bertahun kisah ini turun-temurun dan melegenda (di samping karena aku gemar saja membisik di telingamu – hingga nafasmu dekat di leherku) : orang-orang tua di desa ini begitu rapuhnya perasaan mereka mendengar cerita ini dari mulut seorang pendatang.
*
Pada dua pertiga terakhir malam di satu purnama, laki-laki itu datang. Hanya saja, secara tiba-tiba ia melafalkan sebuah nama : seorang perempuan yang didengarnya lewat cerita yang disampaikan dengan berbisik. Sebab, katanya, di tiap sela-sela subuh nenek moyangku mampir di celah mimpiku yang abu. Bahwa dijejalkan padanya sehelai rambut untuk ia gigit di sela bibirnya. Nama perempuan itu menggulung dari serat-serat rambut yang disematkan padanya di sebuah malam di permulaan gerimis bulan Maret : perempuan yang takkan ia temukan dalam puisi yang tak dipercayainya.
Lelaki asing itu, yang menyihiri birahi gadis-gadis di desa ini, datang menasbihi malam purnama itu dengan kerinduan pada perempuan yang tak pernah ada. Ia telah memilih berseteru dengan kantuk, sebab tertidur membuatnya lupa akan dera rindu dan perempuan yang namanya berasal dari helai-helai perak rambut Dewi Bulan. Maka, tahulah mereka, leluhur laki-laki itu : Dewi Bulan yang terlalu lekas cemburu pada khilaf yang datang seiring lelap.
Tak ada yang lebih menakutkan bagi mereka dari sebuah rencana untuk membenci seorang yang membawa serta darah Dewi Bulan dalam tubuhnya. Barangkali itulah, pikir mereka, mengapa begitu memabukkan laki-laki ini tanpa perlu kami kenali rupanya. Dan tak ada nafas lega sewaktu laki-laki itu tiba-tiba saja melafalkan lagi nama seorang perempuan. Tak seorang pun mengenalinya.
Begitu inginnya mereka membantah laki-laki asing itu, sudah benarkah kau dengar nama perempuan itu? Namun tak ada yang bertekad untuk membuka suara dan membantah; sebab leluhur lelaki asing ini yang menyemai nyawa mereka di tengah lautan yang mereka seberangi setiap malam. Karenanya dibiarkannya laki-laki asing itu bercerita seperti biasa; dan gadis-gadis di desa ini mabuk – sedemikian rupa.
Katanya, dari tungkai tulang kaki perompak tujuh lautan, nenek moyangnya, dibuatnya sebuah belati. Pada sebongkah batu yang terwujud dari kenangan masa lalu, belati itu bergerak menorehkan sebuah doa yang tak kunjung dihapal. Dan sebuah nama. Nama perempuan itu. Batu itu menggulung di sekujur punggungnya, persis pada separuh subuh yang merengguti ingatannya. Barangkali, ujarnya pada leluhurnya yang menyala, ada yang kita lupa dari perjamuan yang kita sajikan. Tapi tak ada, bantahnya sendiri, doa yang berhak menyebutkan nama perempuan itu. Namun, subuh terus meninggi dan belati bergerak menyusur sanggurdinya. Ia memeluk dirinya lekat-lekat. Nama perempuan itu mengisi ruang-ruang rongga matanya, meledak dan mereda, melenting dan menggigil di ujung-ujung tengkuknya.
Barangkali karenanya, ia berjalan kembali, ke desa ini. Sepanjang malam ia berbicara hingga tak ada yang dapat membedakan suaranya sebagai sebuah cerita, nyanyian, atau racauan. Hingga tetes pertama embun yang jatuh pada ujung daun menjelang fajar, sekelebat wajah dilihatnya mengendap-endap.
“Kaukah itu?,” ujarnya, menyebut nama perempuan itu lagi.
Didaraskannya doa-doa yang tak ia pahami – yang dipajangnya di dinding kamarnya. Fajar meranggas dengan wangi mawar di sela-sela pintu kamar – yang lama ditinggalkannya itu. Wajah yang terlintas itu, entah bagaimana, membuatnya yakin itu wajah yang lama dicarinya. Wajah yang dikenalnya lewat dongeng yang disampaikan dengan berbisik, tak akan ia biarkan lekas berlalu. Wajah yang namanya terus ia torehkan dengan belati pada kenangan.
Orang-orang yang mendengarnya tak berani membantah laki-laki asing itu; bahwa yang diajaknya bicara adalah pantulan fajar yang meremang merah di sela lampu yang menggantung di salah satu perahu nelayan. Didekatinya rona yang ia sangka perempuan itu – perempuan yang tak pernah ada. Dinyanyikannya sebuah lagu, yang orang-orang desa ini kenali sebagai sebuah pujian bagi leluhur lelaki itu.
Dan begitu buruknya nyanyian laki-laki itu begitu pagi memenuhi kaki-kaki langit.
Digenggamnya sejumput pasir, diletakkanya di pundaknya, diambilnya api hingga membakarinya. Sebab, ujarnya dengan suara yang dalam, laki-laki itu tak pernah percaya pada puisi. Ia menghilang bersama purnama yang meremang; dan abunya bercampur pasir, menyusur lautan yang kau kini dengar alunannya. Memabukkan.
*
Demikian kisah itu berakhir, Kasihku.
Bertahun-tahun lamanya kisah itu terus diperdengarkan dengan penuh kehati-hatian, terutama pada para gadis untuk berjaga tak larut begitu purnama berjaga – agar tak sampai didengar anak-anak gadis mereka suara laki-laki asing itu. Juga ditakutkan mereka, kalau-kalau sosok laki-laki itu muncul kembali – sebab dibawanya darah Dewi Bulan di tubuhnya – dan memanggil nama anak gadisnya.
Karenanya cerita ini hanya bisa kau dengar setiap purnama, seperti dini hari ini; juga dengan rahasia dan penuh waspada, sebab akan mereka sembunyikan tanya mereka saat angkasa begitu gelap dan hanya titik-titik bintang di kejauhan yang boleh meremang. Bertahun-tahun lamanya, hingga kau percaya. Bertahun-tahun lamanya, hingga dapat diam-diam kau sangka telah dengar juga suara laki-laki yang serupa. Hanya jika kau gadis.
Dan aku gadis.
*
“Kaukah itu?” ;
sayup suaramu menyahutiku.
Nyala purnama tenggelam di tengkukmu tiba-tiba . Kancing kemejaku meretas satu per satu.
-
2013, rupa-rupa muasal cerita.
2 comments
halloo... ini asli tulisanmu?? *terpana ternganga*
ReplyDeletesukkaaa... walopun harus terbata-bata dalam memaknai tulisannya, hueheheh ini tulisannya termasuk ke genre apayahh?
anyway aku koq gabisa follow blognya yahh?
anyway lagi kenalin namaku ayu :, kalo senggang mampir kesini yahh? http://mahasiswifapet.blogspot.com/ blog personal sii tapi ada beberapa yang tulisan juga, jadi intinya blog semrawut. trims :)
alter jang tjantik, ja
ReplyDelete