imoralitas, tanda kutip

8/05/2011 11:49:00 AM

Selubung basa-basi dan paradoks manusia-manusia. demikian training kemarin saya simpulkan.
Dan di tengah kebosanan dan godaan ruang auditorium itulah pikiran saya melayang kemana-mana, termasuk salah satunya tentang imoralitas.

Imoralitas, menurut saya, tidak selamanya akan berakhir sebagai sebuah bentuk vice, atau apapun diksi yang tepat untuk lawan kata virtue yang selalu saya "agung-agungkan", dengan melihat kembali bagaimana moral dan etika dalam masyarakat timbul dan berperan.

*

Beberapa kali belakangan ini saya sering banget bilang betapa pathetic-nya manusia yang merempongin pilihan hidup orang lain, tapi kemarin saya menyadari bahwa saya-lah yang pathetic karena melulu mengeluhkan orang-orang yang saya sebut pathetic tersebut. Cemooh, sebagai salah satu bentuk yang dilakukan masyarakat terhadap anggotanya yang melanggar norma, menurut saya memang pada hakikatnya harus terjadi  sebagai konsekuensi dari tersusunnya sistem norma di dalam suatu kelompok masyarakat.

Kita tahu bahwa apa yang kita sebut sebagai norma sebenarnya adalah bentuk perjanjian tak tertulis yang disetujui oleh anggota masyarakat untuk mengatur pola tingkah laku kehidupan anggotanya. Arkan pernah mengomentari Sartre, "Menurut gue, kebebasan itu enggak ada." dengan memberi contoh "kewajiban" kita untuk memakai baju ketika keluar rumah. "Kita terbatasi oleh norma. Kita enggak bebas."

Pada titik ini sistem norma terkesan seperti penjara yang mengekang masyarakat karena menghalang-halangi kebebasan sebagai manusia, terutama dengan sifatnya yang memaksa. Tapi memang demikianlah sistem norma sebenarnya beresensi. Harus tetap ada suatu sistem di dalam masyarakat untuk menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan bersifat memaksa, namun sayangnya, darimana sistem norma itu terbentuk yang menjadikannya tidak lagi "menarik" untuk saya ikuti.
Memang benar bahwa norma itu dibuat oleh anggota masyarakat. Oleh apa? Oleh common sense. Dan apa itu common sense? Seperti dalam perbincangan dengan Johan di Salihara tentang "puisi yang 'bagus' untuk diterima" dua hari lalu, common sense lebih terdengar seperti non-sense. Suatu pandangan disebut sebagai common-sense karena berasal dari yang mayoritas, atau katakanlah, suara terbanyak; makanya ia disebut sense yang common. Tapi apa yang mayoritas belum tentu pasti benar (berkaca saja pada demokrasi yang gagal, uhuk). Sistem norma bisa saja disetujui karena suara terbanyak, tapi belum tentu berarti pengaplikasiannya akan sesuai dengan masing-masing individunya.

Fungsi tersusunnya norma dalam masyarakat menurut saya, adalah pegangan bagi mereka yang sekiranya masih belum bisa sepenuhnya menyadari esensi tanggung jawabnya sebagai manusia, baik individu (subyek) maupun makhluk sosial. Atau sebutlah, fungsinya sebagai peringatan tanda "bahaya" terhadap konsekuensi suatu hal. Misalnya, norma yang melarang hubungan seksual di luar nikah. Alasan norma itu ada, menurut saya, supaya masyarakat bisa berjaga-jaga dan waspada terhadap konsekuensi yang akan terjadi jika hubungan seksual di luar nikah dilakukan: kehamilan yang merepotkan dan besar perkara karena menyangkut nyawa manusia lain, tanggung jawab berkeluarga, dan hal lainnya yang tidak sederhana. Atau norma yang melarang perempuan untuk pulang malam. Tujuannya, menurut saya, agar perempuan di lingkungan patriarkis ini terhindar dari kemungkinan bahaya; bukannya untuk melabeli perempuan yang sering pulang malam (uhuk, kayak saya, misalnya).

Dan sistem norma itu, saya rasa telah membentuk stereotypes dalam pola pikir masyarakat. Seperti, orang-orang yang bertato, merokok, dan minum dianggap "tidak benar" oleh orang-orang yang konservatif (ini beneran,loh, dan saya masih enggak habis pikir). Atau pandangan orang tentang perempuan yang merokok yang dianggap perempuan enggak benar. Selama mereka merokok bukan di tempat umum, di tempat khusus merokok, misalnya; itu hak mereka, dan tanggung jawab mereka sendiri juga terhadap paru-parunya sendiri dan enggak ada hubungan langsung dengan harga diri si perempuan tuh. Atau perempuan yang banyak akrab dengan laki-laki, dianggap murah (ini paling konyol, tapi beneran pernah ada cowok yang ngomong gitu ke saya! tahik sekali memang) hanya karena ada mind set bahwa perempuan harus cenderung pasif, dan lain sebagainya. Mereka yang tidak sesuai dengan sistem norma yang telah dibangun langsung dilabeli "manusia imoral".
Ah, tapi siapa juga yang bilang stereotyping itu enggak enak, selagi kita bukan yang jadi obyeknya? Soalnya stereotyping itu ringkas, cepet, gampang, dan enggak perlu pake bersusah-susah usaha untuk memahami orang lain. Ya kan? Makanya banyak orang yang akhirnya lebih suka untuk stick to the norm systems, setidak-logis apapun itu.

Dan secara kebetulan, ketika sampai di rumah saya menemukan perkataan Peter Kropotkin di Tumblr:
"I will be immoral!” a young nihilist came and said to his friend, thus translating into action the thoughts that gave him no rest. “I will be immoral, and why should I not? …Because my mother taught me morality? Shall I then go and kneel down in a church, honor the Queen, bow before the judge I know for a scoundrel, simply because our mothers, our good ignorant mothers, have taught us such a pack of nonsense? I am prejudices, - like everyone else. I will try to rid myself of prejudice! Even though immortality be distasteful, I will yet force myself to be immoral…
- Peter Kropotkin
saya rasa saya ingin menjadi seorang imoral saja; dengan imoral ada di dalam tanda kutip.

Menjadi imoral dalam tanda kutip artinya menjadi bagian dari minoritas yang menentang batas. Iya, batas-batas yang dibangun oleh kaum mayoritas yang berpikir bahwa generalisasi adalah tepat untuk tiap individu dalam masing-masing masyarakat yang lalu asyik dalam zona nyaman prejudis mereka.
Menjadi imoral dalam tanda kutip berarti berani mengejar kesiapaannya sendiri tanpa melulu terkungkung pada apa yang ingin dibentuk oleh orang lain, dan memang enggak mudah.
I have been there, but not done yet.

Imoral tanpa tanda kutip, bagi saya, adalah mereka yang tidak bisa memanusiakan manusia lainya: tidak bisa melihat hakikat manusia lain sebagai subyek individu. Membunuh orang lain, itu imoral tanpa tanda kutip. Menyakiti orang lain, itu imoral tanpa tanda kutip. Bahkan menyakiti orang lain dengan kungkungan prejudis pikiran kita juga bagian dari imoralitas tanpa tanda kutip.

Kalau kata Kak Ferdinand, "Tahu batasan. Dan tahu batasan bukan berarti terbatas-batasi."
Yep, biar saja saya jadi imoral dalam tanda kutip.
Biar saja tetap menjadi minoritas; minoritas yang berani menentang batas;
karena seperti Goenawan Mohamad bilang,
"Hidup jadi berarti bukan karena menjadi. Hidup jadi berarti karena mencari." (:

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe