­

Murni

6/18/2011 07:37:00 PM

Dinamakan demikian karena ibunya ingin pada kesucian ia berpangkal: agamis. Yang akan pada kodratnya sebagai perempuan ia akan nunut pada suami yang akan melanjutkan kehidupannya. Yang menjejaki bangku sekolah agar teman-teman ibunya tahu bahwa keluarga mereka mampu.
Murni memperjuangkan namanya. Kemurnian. Bukan kepura-puraan.
"Murni tidak akan menikah."
"Kamu harus mau!" Ibunya setengah gila, menahan jeritan di pojokan dapur.
Bukan perkara mau dan tak mau, sekarang ditambah dengan sadarnya tentang mungkin dan tak mungkin.
"Kamu enggak suka laki-laki ya Murni?"
Murni cekikikan, diikuti dengan tamparan.
"Murni suka laki-laki kok, Bu."
"Ya menikahlah!"
Murni melenggang ke ruang tamu, duduk di samping laki-laki perlente yang ibunya sebut 'perbaikan masa depan', 'menaikkan gengsimu', 'menjadikanmu perempuan sepenuhnya'. Murni tersenyum, lalu berbisik. Si laki-laki dengan rambut mengkilatnya geli-geli di telinga, lalu melotot. Si Murni hanya mesem-mesem, lalu berjalan balik ke dapur.
"Dia enggak mau nikah sama Murni, tuh, Bu."
Ibunya balik melotot, bergesa ke ruang tamu, duduk di samping mantan calon suami. Murni berjingkat ke pintu samping, menguping dari balik jendela yang membingkai ibu dan si laki-laki.
"Dia bilang dia bukan lesbi, sampai sumpah. Tapi dia bilang, dia orang kiri! Sebut-sebut Tuhan tapi enggak tau agamanya apa! Tidak mau nikah karna jijik sama kontrak kelamin, masa!"
Murni manggut-manggut sambil mesem-mesem.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe