Rupa
5/15/2011 04:36:00 PMMungkin maksud kita adalah jadi alim,
Tapi alih-alih malah berubah lalim.
Manusia kecewa pada manusia,
makanya ada manusia kecewa pada agama
karena institusi agama dibangun manusia
karena institusi agama dikembangkan manusia
belajar khotbah belajar marketing dulu seharusnya
“Ayo cari anak buahmu. Anak bawahanmu. Supaya besar jaringan kita. Supaya tinggi kedudukan bintangmu.” “Kejar, terus kejar. Ikat, terus ikat. Jangan sampai lepas.”
Ini agama atau bisnis multi-level marketing?
I
Manusia kecewa pada agama
belum tentu kecewa pada Tuhannya.
tapi manusia dalam agama beranggap ia adalah kafir
kita sumpah-sumpahi dengan dalih zikir
Manusia kecewa pada agama
belum tentu kecewa pada Tuhannya
tapi manusia dalam agama tidak tahu bedanya teis dan ateis. Pun sudah dibedakan malah menidaktuhankan Tuhannya sendiri. lalu ateis tertawa-tawa, ‘lalu untuk apa kamu beragama’
yang penting kuberiman, Haleluya.
Manusia kecewa pada agama
belum tentu kecewa pada Tuhannya
penduduk Indonesia ratus juta
dan semua wajib isi kolom ‘Agama’
Di atas kertas kita adalah sama: sama-sama punya agama
Tapi beragama tidak jamin orang berpikir lurus
Tapi orang berpikir lurus dibilang menodai agama.
Memang dasar manusia.
II
Maka sekarang kita bicara rupa
Rupa-rupa orang beragama
Rupa-rupa orang bertuhan
Orang bertuhan belum tentu beragama
Orang beragama juga belum tentu bertuhan
Orang bertuhan tapi tak beragama, tidak usah tanya kenapa.
Dia percaya pada yang Esa, yang berasal dari ada menuju ke ada,
tapi manusia banyak maunya,
ini ego, pakai buat tafsir ajaran-Nya
itu surga, saya saja yang pergi kesana.
Kalau pun tidak bisa, kita buat saja orang berpikir kita pantas di surga
kita buat orang melihat kita adalah mulia
karena manusia biar kata beriman, tetap saja tertipu apa yang ditangkap indera.
Dia kecewa.
Pada Tuhan saja dia percaya, bukan pada agama yang diselewengi manusia.
Orang beragama tapi tidak bertuhan, tidak usah tanya kenapa.
Dia percaya pada surga
dan tak lupa juga percaya pada dirinya.
Iya, kita beragama artinya beritual dan beribadah:
Ya sudah itu saja.
Karena iman kita adalah doa-doa yang kita hafal,
Peralatan ibadah yang kita kenal,
Atribut-atribut yang kita kenakan
Tapi picik pada manusia, dan beranggap itu lumrah saja:
Karena neraka ada supaya ada yang mengisi. Tapi jangan saya ya, katanya.
Makanya ia beriman
Pada dirinya sendiri.
Makanya ia beragama
Yang disembah dirinya sendiri.
III
Ada juga rupa
manusia yang beragama
berkata ‘semua adalah saudara’
tapi baik hati hanya pada yang serupa
memangnya manusia hasil pabrikan
dicetak massal sebentuk dan serupa
(kalau tidak sama, tinggal lempar ke kubangan. apa perlunya produk pabrikan yang tidak sesuai sistem. yasudah buang saja karena telah jadi berbeda. jadi sampah.)
Ada juga rupa
manusia yang beragama
yang lupa apa itu ‘manusia’
Diambilnya kebebasan
dengan dalih ‘sangkal diri’
Yasudah sangkal dirimu saja,
Saya tetap ingin jadi manusia.
Manusia bukan batu kali
Yang di’setan-setan!’i atau di’goblok-goblok!’i atau di’tahi!”i tidak menimpali
Karena batu kali adalah obyek
Dan manusia yang lupa ‘manusia’
Berpikir sesamanya adalah obyek
Dan dirinya saja yang pantas berbicara
Gantian boleh? Kupanggil engkau “Monyet!”
IV
Sekarang bicara kebebasan
mungkin akan kukutip Sartre saja
“Manusia terkutuk untuk menjadi bebas
karena ia harus bertanggung jawab atas apa yang dipilihnya.”
Kuperjelas lagi katanya
“Kebebasan adalah apa yang kita lakukan dengan apa yang telah diberikan”
Kamu beri saya kekecewaan
Saya punya pilihan: paksakan atau tinggalkan.
‘Paksakan’ adalah bunuh diri
karena masa hakikat manusia-ku sendiri harus dikebiri?
Jadi kupilih ‘tinggalkan’
Dan saya tahu kamu puas, kan?
Karena kamu tidak pernah bertanya ‘kenapa?’
jadi apa pedulimu tentang tanggung jawabku untuk memilih ‘tinggalkan’?
Karena otakmu keburu lelah mencari-cari kalimat buruk untuk ditempeli ke atasku.
Selamat.
Semakin kamu tidak memanusiakan orang lain,
semakin kamu tidak aku anggap sebagai manusia.
Mohon maaf. Pun binatang masih mau peduli manusia.
Mungkin kamu lebih hina.
Maaf.
Kan tadi kubilang gantian, sesekali ku-obyek-kan saja engkau,
berlagak aku lupa pada intersubyektivitas
kuulang kata ‘Monyet!’
V
Dan itu rupa rupa-ku
yang mana kamu mau tahu?
Kamu kan selalu berkata “Orangnya sudah bisa terbaca.”
Ya goblok,
Lagi-lagi berpikir manusia adalah batu kali.
Kamu manusia, kamu subyek. Saya manusia, saya subyek. Sama-sama subyek
kenapa anggap saya tidak berhak men-subyek-kan diri saya?
Dan itu rupa rupa-mu
yang memberhalakan religiusitas
jika agama hanya perkaramu dengan Tuhanmu
tidak perlu pajang-pajang label agama sebagai identitasmu di hadapan manusia lain.
karena dengan demikian, imanmu adalah semu
kesempatan bukan hanya beri waktu
kesempatan itu beri ruang
ekspektasimu mengisi pikiranmu
realita atas rupaku harus ditaruh dimana?
dengan demikian makna saya adalah hampa.
daripada menjadi absurd
lebih baik saja tinggalkan.
VI
dan ini rupa
manusia yang kecewa pada agama
karena kecewa pada manusia
dan ini rupa
manusia yang bertuhan
tapi sudah tidak lagi paham makna beragama
dan ini rupa
manusia yang membela ke-manusia-annya sendiri
tapi disangka tidak tahu diri
oleh manusia yang berupa
beragama tapi entah bagaimana ia bertuhan.
berpikir dangkal tapi menganggap diri Sang Kebijaksanaan.
dan ini rupa
perkara hati manusia
yang tidak kunjung bisa kita terka
di antara dunia yang penuh rekayasa
bahkan oleh label yang (dulunya) semulia agama.
VII
maka
ada satu lagi rupa manusia
manusia adalah bencana
terutama bagi sesamanya.
0 comments