­

Kerbau

5/08/2011 09:07:00 PM

Saya rasa manusia harus bisa belajar untuk tidak melulu mengikuti kebiasaan tanpa pernah bertanya ‘kenapa?’ Bukan maksudnya memaksa orang untuk memunculkan keskeptisan atau kesinisan, tapi kekritisan menjadi sesuatu yang krusial di hari-hari dewasa ini. Kita kan bukan kerbau, yang oleh karena kebiasaan, dipecut dan dicambuk tanpa pernah bertanya kenapa. Ya kerbau jelas alasannya, karena memang tenaga dibutuhkan untuk membajak. Tapi perkara whether it’s legitimate or not untuk mencambuk kerbau supaya dia terus-terusan membajak sawah tidak akan saya bahas di sini.

Saya lagi-lagi terjebak dalam suatu tanggung jawab atas suatu “kebiasaan”. Lucunya, ketika saya bertanya ‘Kenapa?’, jawaban dari orang yang seharusnya mengerti (karena sudah menjalankan kebiasaan itu sebelumnya) sama dengan membalikkan lagi isi kepala saya ke pertanyaan ‘Kenapa?’. Mungkin saya yang sudah terbiasa berpikir bahwa dilaksanakan atau tidaknya suatu tindakan (juga dipilih atau tidaknya suatu opsi) mula-mula bergantung pada pertanyaan mengenai urgency-nya, tapi orang lain tidak. Makanya jadi seperti ini. Meski urgency sendiri akan bersifat sangat subyektif (ada yang merasa uang paling urgent, kenikmatan diri paling urgent, atau altruisme yang dijunjung tinggi, dst, dst.), tapi setidaknya, tetap ada sesuatu yang secara sadar diperjuangkan. Bukankah menjadi sadar atas apa yang diperjuangkan adalah penting? Untuk apa melakukan sesuatu jika tidak ada maknanya? Makna mungkin bisa dibangun, tapi siapa yang tahu hati tiap orang mau memaknai kegiatan ini sebagai apa? Dan apakah kita juga berhak memaksakan suatu makna pada orang lain?

Berada dalam masa-masa sulit akan menjadi hambatan bagi setiap orang, tidak terkecuali saya. Akan menjadi semakin parah jika dalam kesulitan itu, situasi membawa saya kembali pada pertanyaan awal tentang makna, tentang apa yang diperjuangkan, tentang apa yang sebenarnya ingin dipecahkan. Kalau memang tidak ada apa-apa tapi untuk mengikuti kebiasaan saja ya untuk apa?

Ketika dalam masa-masa sulit, saya sering banget mengatakan pada diri saya, “No pain, no gain.” Tapi entah kenapa beberapa waktu ini saya baru sadar, kalau pikiran kita yang “ngikut” aja yang sering banget dipenjarai oleh motivational quotation tersebut di atas. Instead of striving for gain by trying to defeat the pain (and suffer), we strive for pain for no gain. Padahal tidak melulu yang menyusahkan akan berakhir dengan baik. Kalau big effort tidak diikuti smart effort ya jadi big vain result, kan? Lagipula, tidak melulu yang prosesnya sulit memang patut untuk diperjuangkan. (Kembali lagi ke pertanyaan awal ‘Kenapa?’ yang tidak kunjung dijawab. Hampir gila bertanya-tanya sendiri. Dipaksa untuk bertanggung jawab untuk hal yang saya sendiri enggak kunjung paham untuk apa. Mungkin otak saya aja kali yang enggak sampai? Atau hati saya yang tak kunjung mau diajak berkompromi untuk berdedikasi untuk… Untuk apa? Enggak tahu deh.)

Mungkin ini perkara saya aja yang bawaannya protes melulu.
Tapi rasa tidak nyaman karena gelisah itu memang enggak bisa ditutup-tutupin.
“The only tyrant I can accept in this world is still the voice within” – Gandhi.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe