Again, Angst.
5/03/2011 07:35:00 PMDari mana sih rasa nyaman itu berasal? Apakah ia ada, kemudian menghampiri mereka yang pantas menerimanya? Apakah ia selalu ber-ada, dan manusia diwajibkan untuk menghampirinya, sehingga mereka yang diam tanpa menggapainya tidak akan mendapat apa-apa? Apakah ia berasal dari tiada, kemudian manusia harus menjadikannya ada?
Belakangan saya gelisah bukan main karena harus berada di tengah komunitas yang ternyata tidak bisa membawa kenyamanan bagi diri saya sendiri. Saya pikir, ini hanya soal waktu dan soal pribadi saya sendiri, apakah saya bisa beradaptasi pada lingkungan yang sebenarnya baik-baik saja, menurut mereka dan lainnya. Tapi jika memang setiap orang adalah sama, tidak perlu ada angka lima milyar mengisi data jumlah manusia yang ada di seluruh dunia. Saya tidak bisa merasa baik-baik saja, dan tidak bisa saya sampaikan bahwa saya baik-baik saja.
Hari-hari ini bawaannya ingin menangis terus.
Saya ingin menjadi bagian dari mereka, tapi selalu saja saya akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri karena tidak kunjung sepaham, tidak dapat mengerti paham mereka, juga tidak sampai juga logika saya pada pemikiran mereka; padahal sudah lewat setahun saya menjadi bagian di tengah mereka.
Saya coba, saya bekerja, tapi makin dikerjakan (dan diperjuangkan), semakin saya bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang kita kerjakan, apa yang kita tujukan, dan apa yang kita kedokkan.
Analoginya adalah seperti ini:
Pada jaman dulu sebelum kita, para pendahulu kita melihat begitu banyak air menggenang di sekeliling, tanpa tahu harus bagaimana, berkumpul dimana, bersatu dimana; maka para pendahulu kita menciptakan sebuah cangkir untuk mewadahi air-air itu. Tujuan utama dari ada-nya si cangkir adalah mewadahi air. Logikanya: air sudah ada maka si cangkir ada. Air senang berada di dalam cangkir. Cangkirnya membesar, dijaga, dan dikembangkan, serta diturunkan pada generasi kita.
Ketika akhirnya generasi kita memegang mandat untuk menjaga cangkir itu, air-air sudah banyak menemukan jalannya sendiri-sendiri: di gelas, di mangkok, di sendok, di comberan, di sungai, di lautan, di samudera; namun tetap mereka adalah air, dan secara sadar menjalankan ke-air-annya mereka, meski mereka tidak berada di dalam cangkir.
Kemudian, generasi kita di dalam cangkir itu panik dan gelisah karena air sudah hilang kemana-mana (tidak lagi di cangkir kita). Kita di dalam cangkir bersenang-senang sambil merencanakan kegiatan-kegiatan untuk menarik para air kembali ke dalam cangkir kita, padahal tujuan utama si cangkir adalah mewadahi air yang menjadikan dia ada.
Lalu di sanalah saya berada sekarang. Mencari air-air supaya masuk ke cangkir karena berpikir, di sinilah hakikat air seharusnya berada. Bersenang-senang di dalam cangkir kita dengan air-air yang sama dalam cangkir yang sama, kemudian terbutakan akan angin, rerumputan, bebatuan, duri, dan pepohonan; dan menamakan dirinya Benar.
Ada banyak hal yang menjaga keairan si air-air yang tida berada dalam cangkir tadi. Bahkan ketika tidak di dalam cangkir, air-air itu bisa menjadi berkat bagi sesama dengan mengairi persawahan warga yang kesulitan panen, memandikan anak-anak di lingkungan yang kumuh, mengisi kerongkongan para pekerja yang kelelahan, menyejukkan pengemis yang kehausan, dan berkat-berkat lain yang bisa dilakukan si air tanpa harus membawa papan nama 'Aku air', tapi mampu menjadikan hakikat eksistensinya sebagai air dengan menjadi sesuatu bagi orang lain di luar cangkirnya. Bahkan, dengan tidak bisa lepas dari si cangkir, si air jadi enggak bisa melakukan sesuatu di luar cangkir, mau menjadi berkat tapi syaratnya harus ada di dalam cangkir. wew, liberalizing the faith and secularizing it are two whole different things!
Saya gelisah oleh karenanya.
*
Mungkin saya yang terlalu sekuler ya? Bukan, saya bukan ateis, bukan agnostis, bukan deis. Saya bertuhan dan beragama. Tapi saya tidak suka dengan label-label agama karena label agamalah yang menjadikan Palestina menderita, terorisme bergeliatan, NII bergerilya: yang menjadikan kita runtuh dalam kebanggaan kita yang salah kaprah.
Atau mungkin saya yang terlalu idealis? Saya hanya bersikap logis. Saya enggan menjadi fideis.
Ada banyak hal yang tidak saya mengerti dari agama, mungkin karena Tuhan terlalu tak sama dengan kita sehingga kita tidak kunjung mengerti dan tidak kunjung mendapati titik komprehensif dalam memahami-Nya. Atau mungkin saja, kita, manusia, yang terlalu sombong dan berpikir masing-masing adalah yang paling benar.
Saya ingat kata-kata Farida Susanty di bukunya "Karena Kita Tidak Kenal":
"Siapa sih Tuhan buat lo? Paling juga Tuhan cuma orang asing buat lo, kayak orang-orang lain. Yang gila agama. Yang ngelakuin ritual ini itu tapi nggak ngerti juga mereka nyembah siapa."
0 comments