­

Perjumpaan Kedua

4/16/2011 12:46:00 PM


Di antara kepastian-kepastian yang tidak sempat menjadi pilihan, ada butir yang akhirnya akan aku banggakan. Bukan tentang bagaimana kedewasaan akhirnya membawa kita pada perpisahan, tapi pada bagaimana keterasingan sekali waktu pernah membawa kita pada perjumpaan.
Bisa saja ada pendam yang dalam atas nama kegeraman ketika pada dua ciptaan yang sama nyata, ada kebersamaan yang tidak pernah bisa dihidupkan; tapi bukan pada akhirnya yang menyedihkan aku menyimpan cerita. Pada bagaimana kita bermula, bukankah itu yang indah untuk dipertanyakan?


Pada ritme kekaguman akan buah-buah pikiran, dari sana tanda tanya berakar. Tidakkah kamu setuju, bahwa dari keingintahuanlah cinta berasal? Ketika kita sampai pada anggukan di tahap ini, kubilang, lupakan saja ajuan-ajuan pertanyaan filosofismu tentang apa itu cinta dalam lompatan-lompatan rasional yang tidak kunjung kamu berhenti ragukan; karena dalam anugerah eksistensialis yang klise itulah kita menikmati keantaraan.
Pada iya dan tidak. Antara keduanya.
Pada yang berbalas dan yang tidak terindahkan. Antara.
Pada yang terpahami dan yang tercemoohkan. Tetap di antara.
Bahkan pada dasar yang membentuknya: kamu dan aku. Keantaraan yang panjang.

Kusebut keantaraan yang panjang karena pernah sekali waktu kucoba untuk jelajahi. Melelahkan, kukatakan saja. Karena di sana, apa yang mereka sebut harapan, berulang kali dipelanting konspirasi kosmis yang gemar  mengejek mereka yang berpegang pada kebetulan (aku berbicara tentang diriku sendiri).
Ada dimensi waktu yang meski kita sama-sama terpetakan di dalamnya, ada ruang-ruang yang semakin lama semakin tinggi tembok yang membentenginya. Juga kujumpai jejak-jejak masa lalu yang bertahun larut dalam ketidaktahuanku. Juga, yang terpenting, pada bentang panjang masa kita lahir dan bertumbuh, yang jika kita paksa untuk persatukan, akan berakhir dengan bentrokan anarki yang menggelisahkan; dengan norma dan nilai sebagai sambitnya.

Oleh karena itulah, mengapa kita tiba pada perpisahan. Bukankah menggelikan, ketika tidak pernah ada persatuan saja aku berani mengucap kata 'perpisahan'. Tapi kadang perpisahan yang seperti ini bukan mengarah pada individu yang tak pernah bisa menjadi satu, namun pada diriku sendiri dan keping-keping keyakinan yang tak terselamatkan.
Ah, tak perlu kusebut, kan, mengapa aku lebih suka menyimpan cerita tentang bagaimana kita bermula?

*

Kadang kupikir, memang disisipkan satu orang untuk mengubah manusia yang lainnya, sebagaimana kehidupan secara diam-diam pernah kamu jungkir balikkan. Yah.. Mungkin aku saja yang menjungkirbalikkan kehidupanku sendiri, atau memang ia yang tergelincir dalam ekspektasi atasmu.
Mungkin kamu telah jatuh cinta pada ruang kosong yang kamu padatkan sendiri.
Sementara aku jatuh cinta pada kepadatan yang tak pernah berani aku kosongkan.

Mereka bilang cinta itu semacam lagu kesukaan yang kita putar berulang-ulang hingga kita jenuh dan geram karenanya, namun setelah berhenti mendengarkannya, kita kembali dalam kerinduan yang mendalam.
Sudah kulalui perputaran geram dan jenuh dan rindu dan kembali lagi pada geram dan jenuh dan rindu dan.. Ah.

Jika saja diperbolehkan kita diberkati perjumpaan yang kedua.
Namun ini kuragukan. Jangankan bertemu di surga yang sama, pun kubertanya kamu akan ke mana.
Karena kamu bilang, tuhan itu tidak ada.
Lalu apa yang mampu membuat kita nyata? Apalagi membuat kita sama?

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe