percakapan dalam kepala : membosankan
2/08/2011 07:41:00 PM[1] Bohong
“Kadang kupikir aku sedang hidup dalam ketidaksukaan.”
“Semacam menghidupi kebencian?”
“Bukan demikian. Aku hidup dalam sirkumtansi yang kubenci. Sirkumtansi yang kupilih sendiri. Menurutmu aku sedang menghidupi kebohongan?”
“Selintas kurasa demikian. Tapi mungkin alasanmu bisa membuatku berpikir yang lainnya?”
“Karena kupikir aku sedang melakukan hal yang benar, tapi selagi dalam perjalanannya aku melihat aku bekerja dalam kekonyolan dan bahkan kekosongan.”
“Apa kamu pikir kamu gagal?”
“Gagal dalam meyakinkan bahwa yang kujalani tak kunjung kudapati kebenarannya, sebagaimana yang mereka yakini?”
“Ya, kupikir demikian. Apa kamu kecewa dengan kekosongan ini?”
“Kurang lebih. Aku berpikir untuk berhenti dan membiarkan ia menjadi benar karena apa yang dianut orang saja. Aku lelah.”
“Kita sama-sama lelah bertanya.”
[2] Kosong
“Kadang kupikir, memang benar jika hidup sebegitu absurdnya.”
“Karena kekosongan yang terus kamu jalani dan kebencian yang terus kamu hidupi?”
“Entahlah.”
Hening panjang. Canggung.
Rentetan sarkas berbalapan ingin disampaikan. Tenanglah.
“Jika hidup adalah mengada dan menjadi, bagaimana seharusnya kita menghidupi kehidupan?”
“Sederhana, untuk lepas dari teori-teori yang kamu baca di buku. Itu saja.”
“Aku tidak sedang berbicara tentang teori. Ya, memang berangkat dari teori, namun mereka membawa aku pada mata yang membuka.”
“Mata yang membuka atau mata yang memandang nyalang?”
Hening lagi.
“Kurasa, karena kamu terlalu banyak bertanya maka segalanya jadi kosong.”
“Kadang kurasa juga demikian. Kupaksakan harus ada arti, jadi aku mencari; tapi kemudian yang kulihat ada kekosongan, lalu berakhir kekecewaan.
Jadi kau pikir lebih baik aku terbiasa dengan ketidaktahuan saja, berhenti bertanya, untuk sekedar menghindar dari pengetahuan akan kekosongan dan absurditas? Sekedar melepas diri dari kekecewaan? Demikian?”
“Kulihat kamu menyetujuinya.”
“Tapi seberapa penting ketidakkecewaan dibanding mengetahui kebenaran?”
“Ah, kamu mulai lagi.”
[3] Gagal
“Kadang kupikir, Tuhan adalah kegagalan.”
“Dia yang kita yakini telah menciptakan langit dan bumi?”
“Kusampaikan saja apa yang terlintas di kepalaku: ya.”
“Aku akan diam saja, mendengarkan kamu bicara.”
“Untuk apa Dia ada (terlepas dari kenyataan bahwa Dia memang berangkat dari ke-Ada-an, bukan ke-tidakada-an) sebenarnya? Kusaksikan yang ada di semesta ada karena sesuatu membutuhkan ke-ada-an mereka.”
“Jadi sudah terjawab, bukan? Dia ada karena manusia membutuhkan-Nya.”
“Jika demikian, seharusnya manusia ada terlebih dahulu, kemudian manusia yang karena ke-manusia-annya, kemudian membutuhkan Dia, maka ada-lah Dia. Bukankah seharusnya demikian?”
“Apa kamu cukup tangguh hidup tanpa Dia?”
“Aku tidak menyatakan aku setangguh itu. Aku hanya bertanya.”
“Terlalu banyak bertanya, kemudian kamu lupa dengan esensinya.”
“Memang apa esensinya?”
“Aku pun sama banyak bertanya-tanyanya dengan kamu.”
“Tak pernah kusadari kamu bertanya juga.”
“Tak ingin kubiarkan orang melihat saja.”
“Karena mereka akan mengecap kamu tak ber-Tuhan, yang identik dengan kezaliman, kemurtadan, dan segala yang buruk?”
Hening. Jarum jam berdetik penuh intimidasi.
“Belakangan aku juga menunduk malu. Kulihat kita mulai melegalisir pembunuhan atas nama Tuhan.”
“Kamu marah karena manusia dibunuh tanpa justifikasi yang dapat diterima?”
“Aku marah karena yang kulihat adalah pion-pion catur yang sedang dipermainkan (kata Soe Hok Gie).”
“Kekecewaanmu terhadap manusia yang membangkitkan skeptismu.”
“Tidak begitu saja. Jika kebenaran adalah apa yang harus dikedepankan, mengapakah kita membunuh untuk mempertahankan ‘kebenaran’ itu? Jika kebenaran menurutku adalah yang sesuai dengan kemanusiaan, dan mereka membunuh atas nama kebenaran mereka, yang adalah ajaran Tuhan yang sama-sama kita sembah, bukankah kebenaran mereka, atau bahkan kita sendiri, adalah kesalahan?”
“Hanya saja tak semua dari kita mengamalkannya dengan benar.”
“Ajari aku mengamalinya dengan benar.”
“Untuk itu kamu pakailah akal budimu.”
“Dan mereka yang mengamalkannya dengan akal budi akan mencapai ‘Benar’?”
“Katanya Dia datang untuk menyebarkan kebenaran?”
“Lalu mengapa harus kembali kepada manusia lagi untuk memilah mana yang Benar dan yang Tidak?”
“Mungkin karena keselamatan itu ditawarkan? Yang mau selamat silahkan ikuti Benar dan yang tidak Ingin Selamat, tak perlu mengikuti? Maka kita memilah?”
“Apa kita sedang dipermainkan? Diciptakan, kemudian dijebakkan dalam labirin yang membingungkan; kemudian dilempar-lempari pedoman-pedoman untuk keluar, namun berbeda-beda. Segalanya menuju pada jalan keluar. Segalanya berliku sama sulitnya. Segalanya mengaku sebagai kebenaran. Jika demikian, mungkin kebenaran tak hanya satu, bukan?”
“Jika memang demikian?”
Kembali ke percakapan [2]. Membosankan.
“Apakah Dia senang melihat pengikut-Nya mau berbuat demikian untuk nama-Nya?”
“Kurasa Dia sedang menunduk malu dan prihatin.”
“Oh, mengingatkanku pada Baginda gendut saja.”
“Hahaha. Mungkin si Baginda gendut mulai berpikir dirinya adalah Tuhan.”
“Bagaimana bisa? Hahaha.”
“Ia hanya melihat dari singgasananya, nuraninya pilu, tapi hanya sampai prihatin saja dia dapat berbuat dan melihat. Kemudian dibiarkan.”
“Oh mungkin dia berpikir bahwa si Dia akan lebih berkuasa untuk berbuat sesuatu.”
“Iya, kenapa Dia diam saja? Bayangkan kamu menceritakan sesuatu pada A, B, dan C, kemudian masing-masing mereka menyampaikan pada kelompok D, E, dan F, yang mengartikannya secara berbeda; kemudian mereka melihat bahwa satu sama lainnya, mereka adalah salah, kemudian saling membunuh untuk ‘kebenaran’ yang mereka yakini, atas namamu.”
“Aku akan maju memberitahukan kebenarannya! Bukan karena aku tidak mau dipersalahkan, tapi karena kekonyolan akan fakta bahwa mereka membunuh atas namaku itulah yang menyakitkan hati!”
“Aku jadi mulai berpikir sepertimu.”
“Ya?”
Percakapan [1] menyeruak di kepala.
Kemudian berulang lagi. Sirkumtansi membawa saya pada kekecewaan. Bukankah mengerikan melihat kekecewaan dan kemarahan itu bertumbuh di atas landasan iman yang kering? Entah pada siapa saya harus bertanya. Masing-masing mereka hanya akan berkata “Bukan begitu! Dia adalah kebaikan!” tapi aku akan balik bertanya, kenapa Dia dibela-bela jika Dia hanya diam sementara kita menangisi darah dan nyawa yang tertumpah sampai kering hati kita sendiri?
Yang lainnya hanya akan diam dan dalam hatinya mencibir, sembari mengambil label-label lengket penuh kotoran, bernama berketidakTuhanan, dan menjadikan saya adalah noda dalam kepercayaan mereka; padahal saya hanya bertanya, karena dalam kebisingan dalam kepala ini, masih ada kepercayaan akan kebenaran.
Kemudian saya akan menjadi lelah, sangat lelah. Dalam pencarian untuk memperlihatkan kebenaran pada diri saya sendiri, saya akan tenggelam pada pengetahuan akan kekosongan, yang berangkat dari kekecewaan-kekecewaan lain yang semakin hari semakin mematikan saja.
“Kupikir kalau kita mati akan lebih menyenangkan. Ingat? Kudengar, nasib terbaik seseorang adalah tidak dilahirkan, dan masih lebih baik mereka yang mati muda.”
“Kamu mau kemana? Sepertinya dengan pertanyaan-pertanyaanmu, kamu akan dibawa ke Neraka! Katanya, yang ada hanya penderitaan siang dan malam dalam keabadian.”
“Jadi kamu mau patuh karena ketakutan?”
“Artikan saja sebagai cinta; daripada keabadianmu berakhir pada api-api yang membakari tiada henti?”
“Asumsimu mengerikan.”
“Itu yang dinyatakan mereka selagi aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi.”
“Manusia adalah kesombongan. Siapa mereka untuk mengadili.”
“Ya, sampaikan saja pada mereka, yang hidup berkedok kesucian.”
“Berkedok kesucian?”
“Pelelahan diri dengan tradisi dan aturan-aturan, padahal mereka hanya membangun tembok batu mereka sendiri dari manusia-manusia lainnya, yang sebenarnya kuyakini adalah tujuan utama ke-Ada-an-Nya.”
“Oh, dengan perkataanmu, mungkin kamu akan dibawa ke Surga.”
“Jangan sarkas begitu. Tapi surga sepertinya akan menyenangkan; kedamaian dan kesenangan selama-lamanya.”
Lalu tawa membahana bersama-sama dalam kepala.
“Jika memang demikian, surga terdengar sangat membosankan.”
Lagi, tertawa lagi.
“Mungkin karena manusia tidak pernah mencapai kepuasannya saja.”
Tawa yang panjang, kemudian merayap menjadi rasa kasihan terhadap diri sendiri.
0 comments