­

Arti

12/28/2010 04:06:00 PM

Dulu saya pernah gak habis pikir, kenapa ada mahasiswa yang rela memprioritaskan kegiatan UKM-nya dan meletakkan tugas kuliah bukan di urutan paling atas. Dulu saya pikir, permasalahannya cuma perkara: kejenuhan tugas-tugas kuliahan yang terlalu banyak, dosen-dosen yang membosankan, teman-teman sekelas yang tidak se-nyambung teman-teman di UKM, atau adanya tuntutan yang berlebih di kelas.

Spekulasi saya salah.
Sejak Oktober 2010 kemarin, beberapa kali saya meninggalkan kelas untuk kepentingan satu-dua UKM yang saya ikuti. Salah satunya sebuah klub bahasa Inggris. saya mengambil kelas Debat dan Public Speaking, yang saya yakini improvement bisa saya capai maksimal dengan mengikuti kompetisi-kompetisi, menjadi satu dari beberapa delegasi dari universitas saya.

Pergi kompetisi bukan suatu hal yang semenyenangkan yang kawan-kawan saya pikir: tidak ikut kelas, melewati ocehan dosen yang bikin ngantuk, dan lainnya. Pergi kompetisi memang menyenangkan bagi saya pribadi, tapi bukan "menyenangkan" as my friends define.
Pergi kompetisi bisa jadi kebanggaan. Bukan hanya soal kesempatan pembuktian dan pengembangan dirinya, tapi juga bagaimana saya bisa menjadi satu dari delegasi universitas, ketika orang lain tidak bisa.
It sounds like a small things -- I see people around me think so -- when it is not.

Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan UKM pun menuntut sebuah tanggung jawab yang besar, mewakili nama universitas, mengejar pembuktian kemampuan diri, dan juga mewakili harapan teman-teman di satu UKM.
Tidak jauh beda dengan banyaknya tanggung jawab tugas di kelas dan tuntutan lain yang membuntutinya.

Kalaupun bukan dalam bentuk kompetisi, kegiatan UKM lain pun tetap menuntut tanggung jawab yang sama, baik yang pelaksanaannya berkaitan dengan pihak-pihak profesional atau pun hanya pihak-pihak dari kalangan tertentu.

Kesempatan untuk melewatkan ceramah dosen yang membosankan? Siapa bilang? If lecturers weren't needed, there would not be any lecturers at campus. Kita butuh dosen dan menyadari adanya kebutuhan itu, meski kadang beberapa dosen kurang baik public speaking skill-nya.
Spekulasi kedua salah lagi.

Bagaimana dengan faktor teman-teman di UKM yang terlihat lebih nyambung?
Saya rasa ini salah hal pendukungnya. Satu UKM memiliki satu atau lebih minat tertentu yang similar, sesuatu dengan jenis UKM-nya; dan orang-orang yang tidak tertarik dengan bidang itu gak mungkin tahan lama bergabung apalagi sampai melewatkan kelas.
Mungkin kesamaannya satu lagi (selain minat UKM yang similar) : mereka sama-sama punya alasan yang serupa kenapa untuk beberapa hal, melewatkan kelas untuk kegiatan UKM memang pantas untuk dilakukan.

Dan semakin saya pikirkan, semakin saya menyadari bahwa sesuatu yang berhubungan dengan "kesamaan" (dalam artiannya yang sehat) lah yang memang mendorong beberapa mahasiswa lebih tertarik berpusing-pusing mengurusi kegiatan UKM mereka :
dalam setiap kegiatan UKM, anggotanya saling bekerja sama dalam satu kepanitiaan. Tanggung jawab satu anggota menjadi tanggung jawab seluruh anggota lainnya. Kebutuhan satu anggota menjadi kebutuhan seluruh anggota lain. Kesalahan satu anggota akan menjadi petaka bagi seluruh anggota lain.
In short words : Apa yang satu akan berefek pada yang seluruh. Dan itu tidak terjadi di perkuliahan.
Sejauh ini, itu yang paling saya sadari.

Harus saya akui bahwa every single work I do in students organizations are appreciated. Every-single-thing I do, bahkan hal yang memang sudah seharusnya saya lakukan (yang sudah jadi tanggung jawab saya).
Satu contoh, ketika saya gagal breaking satu kompetisi, seorang senior memberikan saya advice untuk terus belajar dan bilang apa yang sudah saya bisa capai adalah satu hal yang baik dan patut disyukuri. Atau ketika sebuah bakti sosial berhasil dilaksanakan, meski sempat terjadi sedikit kericuhan antar peserta yang adalah anak-anak jalanan, seorang senior menghampiri saya dan berkata, "Elle bagus! Acaranya sukses!" Saya koordinator acara waktu itu.
Kelelahan saya meluluh. Mood yang jelek karena letih juga ikutan kabur. Kekhawatiran bahwa orang-orang kecewa dengan apa yang saya kerjakan juga terlupakan.

Saya pernah bilang di-post sebelumnya, munafiklah orang-orang yang mengatakan "Saya bekerja karena saya mencintainya. Saya tidak perlu apresiasi." iya, munafik.
Apresiasi lah yang kadang menjadi satu-satunya tanda bahwa pekerjaan kita bisa berarti sesuatu untuk orang lain. Saya tidak bicara dusta, tidak bicara pemujaan diri.
Saya hanya berpikir betapa hampanya pekerjaan yang bisa berarti tapi hanya untuk diri sendiri. Kosong.

Dan belakangan saya bertanya-tanya apakah pekerjaan-pekerjaan selama kuliah saya adalah kekosongan? Semua karya-karya ini? Kosongkah? Ya, mereka berarti sesuatu bagi saya: pencapaian, kualitas diri, nilai-nilai yang baik, kebanggaan, dan lainnya.

Mungkin sudah saatnya saya memaksa diri untuk bikin karya yang bisa punya arti ke orang lain, tapi rasanya bukan dengan itu saya bisa benar-benar memberi arti. Berinteraksi dengan orang-orang yang merasa dirinya tersisihkan jauh lebih memberi arti bagi saya, dan saya yakini memberi arti untuk mereka. Entahlah. Ini hanya pikiran sepintas, mungkin masih terbawa suasana Teach For Indonesia dan bakti sosial kemarin.

Hmm. Mungkin jurusan saya memang ingin mengajarkan masing-masing mahasiswa tentang pentingnya dependensi atas diri sendiri.. Atau bekerja seolah memang mereka punya arti sebesar as we think it will. Entah. Saya hanya berakhir pada spekulasi lainnya (yang mungkin benar mungkin salah)

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe