kehidupan yang tertinggal

11/03/2010 04:09:00 PM

Pada hari-hari yang telah banyak saya lalui, ketakutan-ketakutan ini terdengar seperti sedang mengolok-olok saya.
Ada senyum yang sudah saya kenali selama bertahun-tahun, dengan kesetiaannya melengkung dengan hormat. Sesekali, saya dengar petuah-petuah itu lagi; yang sudah saya kenal juga sepanjang tahun kehidupan saya, yang beliau satukan dengan kisah panjang kehidupannya - tidak pernah saya cicip.
Sentuhan manis di kepala. Iris mata yang hitamnya tak lagi belia.
Lalu kerutan-kerutan yang tidak pernah saya sadari telah setegas itu sekarang.
Kemudian ketakutan-ketakutan tentang apa yang telah dan apa yang akan: pada beliau dan saya.
Tanda tanya yang menenggelamkan jauh lebih dalam: kesepian dan ketakutan yang sama (atau jauh lebih menyiksa).

Setelah detik-detik awal yang saya pertahankan untuk menilik pertanyaan-pertanyaan yang mungkin terlontar dari kedua matanya, saya berpaling. Berpaling dalam malu. Berpaling dalam kecewa.
Betapa mengerikannya usia tua ketika saya salami.
Betapa menakutkannya ketakutan ibu di masa tuanya.
Saya bergetar.

Pada saat-saat sebelumnya saya akan bertanya tentang kapan pribadi ini menjadi tangguh dan siap menjadi ‘siapa’ yang baru, dengan kebebasan baru yang saya ciptakan sendiri. Saya, sebagaimana kita pada umumnya, merindukan kesendirian dalam babak kehidupan yang baru. Tak ada lagi teriakan-teriakan tentang perintah-perintah irasional (menurut kita) yang terlalu menggairahkan untuk dilanggar. Tak ada lagi teriakan-teriakan yang menggoda untuk bertindak jauh lagi. Kita atas kita. Kebebasan. Lepas.
Saya memimpikan itu.
Dan pada momen tertentu saya berpikir saya telah mendapatkannya.
Dan dalam momen itu, saya berpikir saya telah sampai pada titik permulaan yang tepat.

“Semua yang telah berani memiliki berarti berani melepaskan.” Saya menghibur diri sendiri, menjawab ketakutan yang saya lihat dari mata ibu.
Tapi kemudian saya bercermin, menjalari refleksi yang memandang penasaran pada saya: dari ujung rambut yang hitam, mata yang melirik lincah, tulang-tulang pipi yang kokoh, bibir yang masih gesit berucap dan menyimpulkan senyum – kebeliaan yang saya syukuri.
Kebeliaan yang akhirnya membawa saya pada keklisean: mengapa harus ada ketika semuanya akan menghilang pada akhirnya?
Betapa absurdnya hidup.

Lalu saya akan bertanya, yang saya yakini adalah pertanyaan ibu:
“Apakah saya siap menjadi tua, tak ada lagi cantik yang kupoles, dalam diam menyaksikan anak-anakku beranjak dewasa dalam kebahagiaannya yang dicapai dari pedih dan peluhku, untuk kemudian lenyap bersama tanah dan debu – untuk lalu menjadi sendiri dan terlupakan?”

Saya tak siap.
Dan saya khawatir ibu tak pernah siap.

Betapa menggetirkannya senyum ibu yang terseling di antara sapaan sayangnya yang bergetar.

Kegelisahan ini.
Saya ingin terus bersama ibu, bersama cintanya yang entah dengan apa bisa saya balas.
Saya ingin terus bersama ibu, bersama ketakutannya tentang anak-anakku yang mungkin akan melupakanku, melupakan kami, dan suamiku yang (mungkin tidak) akan pernah kupersilahkan ambil bagian dalam cerita kehidupanku – yang mungkin akan sama tertinggalnya dengan cerita kehidupan ibu di masa lalu yang hanya akrab melalui kata-kata.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe