Bukan, Bukan Meninggalkan

6/28/2010 09:10:00 AM

Ia duduk dalam kegelisahannya yang di dalam tempatnya berada sekarang ini, telah diiming-imingi kelegaan.
Mungkin mulut mereka yang terlalu senang melontarkan bual, pikirnya, atau memang yang mereka sakralkan sudah hilang saktinya.
Berulang kali ia mendapati kedua matanya terlalu berat untuk dibuka. Ketika tiba pada titik terakhir, ia -tak perlu dipaksakan- bangkit berdiri, meninggalkan bangku kayu dan ratusan umat yang masih duduk diam.
Mereka gila, ucapnya dalam hati, mereka begitu dungunya mau terjebak dalam kejenuhan tak bermakna ini.
Ada mata -- banyak pasang mata-- yang mengikuti tapakannya meninggalkan gereja.
Ia melempar pandang.


Tak perlu malu, hiburnya pada diri sendiri, katanya keselamatan ditawarkan bukan dipaksakan.
Tadi aku bawa gelisah untuk dipersuasikan kedamaian.
Tadi aku bertanya jika memang sosok kurus tersalib di belakang altar memang mempertemukan aku pada Yang Agung.
Aku mencari jawaban,
namun mereka menyajikan celoteh tentang gedung-gedung, tentang kuantitas, uang.

Tidak, tidak, aku tidak membenci-Mu; tidak pernah, Tuan.
anak-anak-Mu saja yang menyebalkan, berlagak dewasa dan tahu semua. Macam anak labil yang sok dewasa dalam kekudusan dengan modal kata yang terhafalkan, bukan teramalkan.
Maka beginilah, mereka acuh tak acuh pada yang sekarat dalam imannya yang kering, yang tak bisa lari dari mati jika hanya mereka asupi klise dunia yang tanpa diimani pun sudah menyesakkan, sehingga kebenaran pun tertinggal lalu terkubur sebagai mitos yang basi.

Ia terduduk di bawah lonceng, menengadahkan kepalanya ke atas.
Oh, pikirnya, betapa ironinya Kau terlihat begitu menjauh di dalam kompleks ini. Gema-Mu tak lagi bisa aku dengar, entah gema apa yang berkumandang di hati palsu mereka.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe